“Tolong, Jupe!” Itu suara Bob, yang terdengar lewat telepon. Remaja itu sungguh-sungguh berada dalam situasi gawat. Ia disandera komplotan penjahat yang tak mengenal belas kasihan. Bukan baru sekali ini Trio Detektif terjerumus ke dalam bahaya. Kadang-kadang mereka bisa menyelamatkan diri dengan jalan membeberkan informasi. Dan tepat itulah yang kini dituntut para penjahat yang menyandera Bob. Penjahat-penjahat itu yakin sekali bahwa Trio Detektif mengetahui tempat suatu barang berharga disembunyikan. Padahal kenyataannya tidak begitu ! Bagaimana akal Jupiter agar bisa nenyelamatkan Bob ? Jupiter tidak pantas menjadi Penyelidik Pertama tiga sekawan detektif remaja itu, jika ia tidak berhasil menemukan jalan ! Penerbit PT Gramedia JI. Palmerah Selatan 22 Lt. IV Jakarta Pusat MISTERI JERITAN JAM Scanned and Created Ebook by: syauqy_arr@yahoo.co.id WEB. http//hanaoiki.wordpress.com Convert to other format dan edited by Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu Alfred Hitchcock Trio Detektif MISTERI JERITAN JAM ilustrasi oleh Harry Kane Penerbit PT Gramedia Jakarta 1964 The Mysteri of The Screaming Clock by Alfred Hitchcock Copyright © 1968 by Random House, Inc. Based upon characters created by Robert Arthur This translation published by arrangement with Random House, Inc. Alt rights reserved “MISTERI JER1TAN JAM” Alihbahasa: Agus Setiadi GM 84.051 Hak cipta terjemahan Indonesia PT Gramedia, Jakarta Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Sampul digambar kembali oleh Nono S Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia, Jakarta 1984 Anggota IKAPI Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia Jakarta Daftar Isi Bab 1: Jeritan Jam Bab 2: Jupiter Menemukan Petunjuk Bab 3: Pengusutan Bab 4: Melacak Jeritan Bab 5: Kamar Jam Bab 6: Misteri Bertambah Bab 7: Perampasan Bab 8: Siapakah yang Bernama Rex? Bab 9: Lagi-lagi Misteri Bab 10: Terlibat dalam Kesulitan Bab 11: Gerald yang Satu Lagi Bab 12: Pertanyaan... Tanpa Jawaban Bab 13: Petunjuk-petunjuk Baru Bab 14: Pesan dan Angka-angka Sandi Bab 15: Bob dalam Kesulitan Bab 16: Perjumpaan yang Tak Disangka-sangka Bab 17: Di Tangan Lawan Bab 18: Kembali ke Kamar Jam Bab 19: Pencarian yang Sia-sia Bab 20: Perkembangan Tak Terduga Sepatah kata pendahuluan Halo — apa kabar ? Kita berjumpa lagi dalam kisah petualangan baru, yang melibatkan ketiga remaja teman-teman lama kita — Trio Detektif — dalam suatu misteri yang benar-benar aneh. Sebuah weker yang menjerit membawa mereka ke dalam petualangan yang serba misterius serta penuh ketegangan. Petunjuk-petunjuk yang diperoleh bukannya memperjelas persoalan, melainkan malah semakin membingungkan ! Kata-kata di atas kutujukan pada sahabat-sahabatku yang sudah lama mengenal Trio Detektif. Sedang bagi teman-teman baru, baiklah kutambahkan di sini bahwa mereka itu masing-masing bernama Jupiter Jones, Bob Andrews, dan Pete Crenshaw. Ketiga remaja itu anak Amerika yang bertempat tinggal di Rocky Beach, sebuah kota kecil di daerah pesisir Samudra Pasifik, yang letaknya tidak jauh dan Hollywood, California. Beberapa waktu yang lalu mereka membentuk perusahaan penyelidik swasta dengan nama ‘Trio Detektif’. Mereka mempunyai markas berupa sebuah karavan bekas yang telah diubah menjadi ruang perkantoran. Letaknya tersembunyi di tengah tumpukan barang-barang bekas yang diperdagangkan, di Jones Salvage Yard. Perusahaan dagang barang-barang usang itu milik Titus dan Mathilda Jones, paman dan bibi Jupiter. Apabila tidak sedang beraksi selaku penyelidik, Jupiter beserta kedua temannya bekerja di situ untuk mendapatkan uang saku. Kurasa cukup sekian untuk kali ini, karena kudengar bunyi dengungan lembut sebuah weker listrik. Awas! Alat penunjuk waktu itu sebentar lagi akan — ah baca saja sendiri bagaimana lanjutannya! Alfred Hitchcock Bab 1 Jeritan Jam Jam itu menjerit. Bunyinya seperti wanita yang berteriak karena sangat ketakutan. Mulainya bernada rendah. Tapi kemudian meninggi. Akhirnya melengking. Telinga Jupiter sampai sakit karenanya. Remaja itu merinding. Suara itu benar-benar menimbulkan rasa ngeri. Padahal jam itu biasa saja wujudnya Sebuah weker listrik model lama. Jupiter tadi mencolokkan stekernya ke tempat sambungan listrik, karena ingin tahu apakah masih jalan atau tidak. Tahu-tahu terdengar suara menjerit itu! Jupiter menyambar kabel. Steker jam itu dicabutnya dari tempat sambungan listrik. Seketika itu juga jeritan terhenti. Jupiter menghembuskan napas lega. Ia benar-benar kaget tadi, mendengar bunyi weker yang mirip jeritan. Di belakangnya terdengar langkah berlari-lari menghampiri. Sesaat kemudian Bob Andrews dan Pete Crenshaw sudah berdiri di samping Jupiter, napas keduanya tersengal-sengal. Mereka rupanya bergegas-gegas datang, meninggalkan pekerjaan yang sedang dilakukan di pekarangan depan, tempat penjualbelian barang-barang bekas yang merupakan usaha paman dan bibi Jupiter. “Astaga — suara apa itu tadi?” tanya Bob. “Kau yang berteriak, Jupe ?’ Pete memperhatikan Jupiter dengan sikap cemas. Jupiter menggeleng. “Coba kalian dengarkan ini,” katanya. “Ada sesuatu yang agak aneh.” Sambil berkata begitu dicolokkannya sekali lagi steker tadi ke tempat sambungan listrik. Sekali lagi terdengar suara jeritan seram. Jupiter mencabut steker — dan jeritan langsung terhenti. “Wow!” kata Pete. ‘Itu yang kaumaksudkan dengan agak aneh? Jam menjerit — hanya agak aneh katamu?’ “Aku ingin tahu, bagaimana komentarnya jika tahu-tahu jam ini memperoleh sayap lalu terbang?” kata Bob sambil nyengir. “Mungkin baru saat itu ia menganggapnya cukup aneh. Kalau untukku, jam yang menjerit anehnya sudah tidak tertolong lagi. Bisa kubilang sudah hampir yang paling aneh di antara hal-hal aneh yang pernah kujumpai!” Jupiter tidak mempedulikan komentar-komentar kedua sahabatnye. Ia sibuk meneliti jam yang berbunyi aneh itu. Ia membalik-balik benda itu. “Ah!” katanya kemudian. Dan nada suaranya terdengar bahwa ia puas. “Apanya yang ‘ah’?” tanya Pete. ‘Tuas kecil yang menyebabkan weker ini berbunyi temyata berada pada posisi hidup,” kata Jupiter. “Coba sekarang kuhidupkan lagi, sementara tuas kugeser ke posisi mati.” Steker dimasukkan lagi ke sambungan listrik. Jarum detik nampak bergerak, disertai bunyi desuman lembut. Tapi cuma itu saja. Tidak ada bunyi lain. “Kita lihat sekarang apa yang terjadi, jika tuas ini kugeser lagi ke posisi hidup.” Jupiter melakukan apa yang dikatakan olehnya. Seketika itu juga terdengar jeritan melengking. Jupiter cepat-cepat menggeser tuas kecil ke posisi mati. “Nah, bagian pertama dari misteri sudah berhasil kita pecahkan. Weker ini berbunyi dengan suara jeritan, dan bukan berdering seperti biasa.” “Misteri?” tanya Pete heran. “Misteri mana yang sudah berhasil kita pecahkan bagian pertamanya?” “Maksud Jupe, weker yang menjerit kan merupakan misteri,” kata Bob berusaha menjelaskan. “Dan ia sudah berhasil mengetahui, apa sebabnya bisa menjerit” “Bukan apa sebabnya, tapi hanya kapan jeritan terdengar,” kata Jupiter membetulkan, “Weker ini menjerit apabila tuas berada pada posisi hidup. Sedang apa sebabnya, merupakan misteri yang menurut perasaanku pasti menarik untuk diselidiki.” “Diselidiki? Apa maksudmu?” tanya Pete. ‘Bagaimana caranya menyelidiki jam? Kita ajukan pertanyaan-pertanyaan gencar untuk menyudutkan, sempai akhirnya benda ini mengaku?” “Jam yang menjerit dan tidak berdering seperti umumnya, jelas merupakan hal yang misterius,” jawab Jupiter. “Sedang semboyan kita – semboyan Trio Detektif –“ “Kita menyelidiki apa saja!” seru Pete dan Bob serempak. “Baiklah,” kata Pete kemudian. “Jadi ini merupakan misteri. Tapi aku tetap ingin tahu, bagaimana caranya mengusut jam.” “Kita harus menyelidiki kenapa bunyinya dibuat menjerit, dan bukan berdering. Pasti ada alasannya,” kata Jupiter menjelaskan. “Saat ini tidak ada urusan lain yang harus kita selidiki. Jadi kuusulkan agar kita berlatih dengan mengadakan penyelidikan terhadap jam yang menjerit ini.” Pete mengerang. “Masa segala-galanya harus kita selidiki,” keluhnya. Tapi Bob kelihatannya langsung tertarik mendengar usul Jupiter. “Dari mana kau akan mulai, Jupe?” tanyanya berminat. Jupiter Jones mengambil kotak perkakasnya dan laci meja kerja yang ada di dekat situ. Ketiga remaja itu berada di suatu bagian kompleks Jones Salvage Yard yang merupakan bengkel Jupiter. Ia diizinkan oleh Paman Titus dan Bibi Mathilda bekerja di situ. Di bengkel itu ia bersama kedua sahabatnya bisa bekerja dengan tenang, terlindung di balik tumpukan barang bekas. Pada satu sisi bengkel itu terdapat tumpukan tinggi berbagai jenis barang bekas. Balok-balok besi, kayu, peti-peti, papan luncur yang berasal dan tempat anak-anak bermain, dan masih banyak lagi. Semua diatur dengan seksama untuk menutupi sebuah karavan kecil yang dijadikan Markas Trio Detektif. Ada beberapa jalan masuk rahasia ke karavan itu, yang tidak mungkin bisa dilewati orang dewasa. Tapi saat itu mereka tidak perlu masuk. Jupiter mengambil obeng dan kotak perkakas, lalu membuka tutup jam yang sebelah belakang. Setelab semua sekrupnya dilepas, tutup tadi digesernya pada kabel supaya ia bisa melihat ke bagian dalam jam. “Ah!” katanya. Dengan ujung obeng ditudingnya sesuatu yang rupanya merupakan tambahan pada bagian dalam jam. Wujudnya berupa piringan sebesar mata uang dollar Amerika. Tapi lebih tebal. "Kurasa inilah mekanisme yang menimbulkan bunyi jeritan,” katanya. “Seseorang yang tahu seluk-beluk mesin jam memasangnya di sini, menggantikan lonceng weker yang biasa.” “Tapi untuk apa?” tanya Bob. “Itulah teka-teki yang kita hadapi. Jika kita ingin melakukan pengusutan mengenainya. Pertama-tama kita harus mengetahui siapa yang memasang piringan ini di sini.” “Aku tak tahu bagaimana kita bisa melakukannya, kata Pete. “Kau bilang begitu karena tidak berpikir dengan sikap penyelidik,” kata Jupiter. “Sekarang coba kauperas otakmu sedikit. Katakan bagaimana kau akan memulai pengusutan terhadap misteri ini” “Yah” kata Pete agak ragu, “Kurasa pertama-tama aku akan menyelidiki dari mana jam ini berasal.” “Tepat. Dan bagaimana caramu menyelidikinya?” “Weker ini sampai di sini sebagai barang bekas yang tidak dipakai lagi,” kata Pete. “Jadi mestinya dibeli oleh Paman Titus. Mungkin pamanmu itu masih ingat di mana ia membelinya.” “Bukan ini saja yang dibeli Mr. Jones, melainkan bermacam-macam barang,” kata Bob agak sangsi. “Mana mungkin ia bisa ingat satu-satu tempat asal barang beliannya.” “Betul,” kata Jupiter. ‘Tapi pertimbangan Pete sudah benar. Pertama-tama kita bertanya dulu pada Paman Titus, apakah Ia masih ingat di mana ia membeli weker ini. Baru setengah jam yang lalu ia menyerahkannya padaku, dalam kotak yang berisi macam-macam. Sekarang kita lihat saja dulu apa saja yang juga ada dalam kotak itu.” Ia merogohkan tangannya ke dalam sebuah kotak kardus yang terletak di atas meja kerjanya. Dikeluarkannya burung hantu yang sudah diawetkan. Bulu burung itu hampir seluruhnya sudah rontok Kemudian muncul sebuah sikat pakaian yang sudab nyaris gundul. Lalu menyusul lampu meja yang sudah rusak, bertangkai panjang yang dapat digerak-gerakkan. Lalu sebuah jambangan bunga yang sumbing bibirnya, sepasang penahan buku berbentuk kepala kuda, serta beberapa benda kecil lainnya. Hampir semuanya berada dalam keadaan rusak. Semuanya barang bekas yang tak berharga. Atau sebaliknya. sangat bernilai. Ini tergantung selera. “Kelihatannya ada orang yang menyingkirkan barang-barang bekas” kata Jupiter sambil meneliti benda-benda itu. “Semua dimasukkan ke dalam kotak ini, lalu dituang ke tempat sampah. Oleh tukang sampah seluruh isi kotak kemudian dijual pada Paman Titus- Paman boleh dibilang mau membeli apa saja, asal harganya cocok — dengan memperhitungkan ketrampilan kita untuk membetulkan apa yang masih bisa dibetulkan, untuk kemudian dijual lagi.” “Sedollar pun tak mau kukeluarkan untuk membeli kesemuanya ini,” kata Pete. “Kecuali weker itu, yang kelihatannya masih baik. Cuma bunyinya saja yang aneh. Bayangkan, dibangunkan suara jeritan!” “Hmm.” Jupiter merenung. “Katakanlah, kau ingin menakut-nakuti seseorang. Mungkin bahkan sampai menyebabkan kematiannya. Lalu jam ini ditaruh di ruang tidur menggantikan weker yang ada di situ. Lalu apabila weker ini menjerit sebagai ganti deringan untuk membangunkan, korban mengalami serangan jantung karenanya. Itu kan rencana pembunuhan yang sangat licin!” “Astaga!” desah Bob: “Jadi menurutmu, itu kegunaan weker ini ?” “Entahlah — aku tadi hanya menyebutkan salah satu kemungkinan,” jawab Jupiter. “Sekarang kita tanyakan saja pada Paman Titus, mungkin ia masih ingat dari mana ia memperoleh jam ini.” Jupiter mendului keluar meninggalkan tempat kerja mereka itu, menuju pondok kecil di pekarangan depan yang dipakai sebagai kantor. Hans dan Konrad, kedua pemuda keturunan Jerman yang bekerja sebagai pembantu Paman Titus, nampak sedang sibuk menyusun bahan-bahan bangunan yang masih bisa dipakai, membentuk tumpukan rapi. Titus Jones, paman Jupiter yang bertubuh kecil dengan kumis besar melintang serta sepasang mata cerah yang selalu bersinar jenaka, saat itu sedang memeriksa sejumlah perabot bekas. ‘Nah?” sapanya ketika melihat ketiga remaja itu datang menghampiri. “Jika kalian ingin mendapat uang saku sedikit, ini ada beberapa mebel yang perlu diperbaiki dan dicat.” “Baikiah — kami akan mengerjakannya nanti, Paman,” kata Jupiter berjanji. “Saat ini kami tertarik pada jam ini, yang kami temukan dalam kotak berisi barang-barang bekas yang Paman serahkan padaku untuk diperiksa. Paman masih ingat, di mana Paman memperolehnya?” "Hmm.” Paman Titus mengerutkan kening. Ia berpikir sebentar, berusaha mengingat-ingat. “Aku mendapatnya dari seseorang. Diberi begitu saja, tanpa perlu kubayar. Kotak kardus itu ditambahkannya pada kumpulan mebel yang kubeli ini. Orang itu pengumpul barang bekas, di jalan menuju Hollywood. Kerjanya mengambili barang-barang bekas yang dfsingkirkan ke tempat pembuangan sampah. Barang yang temyata masih ada harganya kemudian dijual. Banyak orang yang suka membuang barang bekas yang sebetulnya masih berguna.” “Paman tahu siapa nama orang itu?” “Cuma nama depannya saja. Tom. Cuma itu saja. Tapi katanya pagi ini ia akan datang kemari, mengantarkan barang-barang lagi. Kalau ia datang nanti, bisa kautanyakan sendiri padanya.” Saat itu sebuah mobil pick up tua masuk ke pekarangan. Seorang laki-laki berpakaian montir, dengan bibir dan dagu ditumbuhi rambut yang sudah beberapa hari tak dicukur, melompat turin dari kendaraan itu “Nah — itu dia datang,” kata Mr. Jones. “Selamat pagi, Tom!” “Selamat pagi, Titus,” kata orang yang baru datang itu. “Aku membawakan beberapa mebel lagi untukmu. Bagus sekali. Masih bisa dibilang baru.” “Maksudmu belum cukup tua — jadi belum bisa kaukatakan barang antik,” kata Titus Jones terkekeh. “Begini sajalah! Tanpa memeriksa lagi, langsung saja kubayar sepuluh dollar untuk semuanya.” “Oke,” kata orang yang bemama Tom itu dengan segera. “Di sini saja kuturunkan?” "Di sana saja, di belakang kantor. Tapi sebelumnya Jupiter ini masih ingin menanyakan sesuatu padamu." “Boleh saja. Bicaralah, nak.” “Kami sedang mengusut asal sebuah kotak kardus berisi barang-barang bekas yang Anda berikan pada Paman Titus” kata Jupiter. "Dalam kotak itu antara lain terdapat jam ini. Mungkin saja Anda masih ingat” “Jam?” Laki-laki tua itu terkekeh. “Berlusin-lusin jam tua yang kupungut saban minggu. Kebanyakan di antaranya kemudian kubuang lagi karena sudah terlalu rusak. Tidak— aku tidak ingat lagi.” "Dalam kotak itu juga ada burung hantu yang diawetkan,” kata Bob menyertai pembicaraan. “Kalau itu, mungkin Anda masih ingat” “Burung hantu? Nanti dulu. Kalau itu -" Laki-laki tua itu berusaha mengingat-ingat. “Aku ingat memungut kotak kardus yang di dalamnya ada burung hantu yang diawetkan. Barang seperti itu tidak sering kupungut.Ya— betul, sekarang aku ingat lagi. Aku mengambilnya dan sebuah rumah di— sebentar, sebentar— pasti aku akan ingat lagi. Di...,, " Tapi kemudian ia menggeleng. “Wah, sayang aku tidak ingat lagi. Habis, itu sudah lebih dan dua minggu yang lewat. Sejak itu kutaruh saja dalam garasi, sampai kemudian kuserahkan pada pamanmu bersama mebel tua yang dibelinya. Tidak, aku tidak bisa ingat lagi dari mana asal kotak kardus itu." Bab 2 Jupiter Menemukan Petunjuk “Nah — itu satu pengusutan kita yang langsung macet sebelum bisa dimulai,” kata Pete. “Karena kita tidak bisa mengusut asal weker itu, takkan mungkin kita bisa mengetahui — cari apa lagi kau sekarang, Jupe?" Saat itu mereka sudah kembali berada di bengkel. Pete berhenti bicara, karena melihat Jupiter membalik-balik kotak kardus kosong yang semula antara lain dijadikan tempat menaruh weker yang bisa menjerit, “Kotak begini kadang-kadang ada tulisan alamatnya,” kata Jupiter. “Menurutku, itu kotak biasa saja, yang dipakai untuk barang-barang belanja di di pasar raya,” kata Bob. “Ya, kau benar. Sama sekali tidak ada alamat tertulis di sini,” kata Jupiter. “Kalau begitu,” kata Pete menyambung kalimatnya yang tadi, “seperti kataku tadi — pengusutan kita sekali ini — ada apa, Bob?” Pete melihat Bob memotong secarik kertas persegi empat yang melayang jatuh ke bawah mesin cetak. “Ini, kertas ini kulihat jatuh dari kotak kardus itu,” kata Bob pada Jupiter. “Ada tulisannya.” “Mungkin daftar belanja,” kata Pete. Tapi sambil berkata begitu dihampirinya Bob, karena ingin tahu apa yang tertulis pada kertas itu. Ternyata beberapa kalimat pendek yang ditulis dengan tinta. Jupiter membacakannya keras-keras. Rex yang baik Tanya Imogene. Tanya Gerald Tanya Martha. Setelah itu bertindak! Bahkan kau pun akan heran melihat hasilnya. “Astaga!” seru Bob heran. “Apa maknanya?” Tanya Gerald! Tanya Imogene! Tanya Martha!” ulang Pete sambil mengeluh. “Siapa mereka itu — dan apa yang harus ditanyakan pada mereka? Lagi pula, untuk apa?” "Kurasa, ini semua merupakan bagian dari misteri jam aneh itu,” kata Jupiter. “Kenapa kau mengatakan begitu?’ tanya Bob. “Itu kan cuma secarik kertas yang terselip dalam kotak kardus itu. Bagaimana kita bisa mengetahui ada tidaknya hubungan dengan jam itu?” “Kurasa ada hubungannya,” jawab Jupiter. “Perhatikan saja kertas ini. Kan nampak bekas digunting, sehingga berukuran tertentu. Kurang lebih lima kali sepuluh senti. Sekarang perhatikan sisi belakangnya. Apa yang kalian lihat?" “Kelihatannya seperti bekas lem yang sudah kering,” kata Bob sambil memperhatikan. "Tepat” kata Jupiter. “Kertas ini mulanya direkatkan pada sesuatu benda. Kita teliti jam itu lagi. Dasarnya cukup lebar untuk ditempeli kertas itu Lihatlah — kalau kertas ini kutempelkan — pas sekali! Dasar ini terasa kasar. Menurut kesimpulanku, ini pasti lem yang sudah kering. Jadi jawabannya sederhana saja. Kertas ini mulanya direkatkan pada dasar jam yang bisa menjerit ini. Tapi kemudian terlepas — mungkin karena tergeser kian kemari.” "Tapi untuk apa pesan segila itu direkatkan ke dasar jam?" tanya Pete ingin tahu. “Aku sama sekali tidak mengerti” “Misteri yang tidak misterius, bukan misteri namanya,” kata Jupiter. “Ya, itu aku juga tahu," kata Pete sebal “Yah, sekarang misteri sudah menjadi lipat dua, sedang kita kembali pada pangkal persoalan. Kita masih tetap belum bisa mengusut asal-usul jam ini dan — apa lagi yang kaubuat itu, Jupe?’ “Aku mengorek sisa-sisa lem yang melekat pada dasar jam. Kelihatannya ada sesuatu di bawahnya. Nampaknya seperti tulisan yang terukir. Tapi kecil sekali, sehingga tidak bisa dibaca dengan mudah. Lagi pula ada lem yang menutupi. Yuk, kita masuk saja ke markas, lalu menelitinya dengan kaca pembesar.” Sambil bicara Jupiter melangkah ke belakang mesin cetak. Kisi-kisi besi yang kelihatannya seperti kebetulan saja tersandar di situ digesernya ke samping. Kini nampak ujung sebuah pipa besar yang terbuat dari pelat besi berombak. Ketiga remaja itu satu demi satu memasuki pipa yang panjangnya sekitar sepuluh meter dan yang pinggirnya dilapisi selimut-selimut tua supaya lutut tidak sakit apabila terbentur. Itulah jalan rahasia untuk masuk ke markas, yang dinamakan Lorong Dua. Sebagian dari pipa itu menyuruk masuk ke dalam tanah. Melewati jalan rahasia itu, akhirnya mereka sampai tepat di bawah trailer tua yang dijadikan markas. Jupiter mendorong tingkap yang ada di lantai trailer ke atas. Ketiga remaja itu menyusup ke atas lewat lubang yang terbuka, masuk ke ruang kantor markas yang sempit. Kantor itu diperlengkapi dengan sebuah meja, satu lemari kecil tempat menyimpan catatan, sebuah mesin tik, sebuah alat perekam dan sebuah telepon. Jupiter menyalakan lampu yang terpasang di langit-langit lalu mengambil kaca pembesar dari laci meja. Dengan alat itu ditelitinya dasar jam weker. Sambil mengangguk disodorkannya barang itu pada Bob. Bob ikut meneliti dengan kaca pembesar. Dilihatnya nama seseorang terukir dengan huruf-huruf yang kecil sekali pada dasar jam. A. Felix. “Apa artinya?” tanya Bob. “Kurasa bisa kujelaskan sebentar lagi,” jawab Jupiter. “Pete, tolong ambilkan buku telepon. Yang berisi iklan baris.” Pete menyodorkan buku telepon yang diminta. Jupiter membalik-balik halaman selama beberapa saat. Kemudian ia berseru dengan gembira. "Lihat ini!” Di bawah kelompok TUKANG JAM ada sebuah ikian pendek A. Felix — Tukang Jam — Pekerjaan luar biasa merupakan keistimewaan kami. Kalimat itu disusul oleh alamat yang terletak di Hollywood, lengkap dengan nomor telepon. "Tukang jam,” kata Jupiter menjelaskan pada kedua temannya, “Sering mengukirkan nomor kode tertentu pada arloji atau jam yang mereka betulkan. Gunanya agar bisa langsung mengenali apabila alat penunjuk waktu itu datang lagi lain kali. Mereka pun kadang-kadang mengukirkan nama mereka, yaitu pada hasil pekerjaan yang mereka banggakan. Kurasa kita sudah berhasil mengusut siapa yang membuat jam ini bisa menjerit. ltu langkah pertama penyelidikan kita. Langkah berikut, kita tanyakan pada Mr. Felix siapa yang memberi tugas padanya.” Bab 3 Pengusutan Toko A. Felix — Tukang Jam temyata cuma kecil saja. Letaknya di suatu jalan sempit di samping Hollywood Boulevard, jalan raya yang termasyhur di kota film itu. "Kita parkir di sini saja, Worthington,” kata Jupiter pada supir Rolls-Royce yang mengantar mereka ke situ dari Rocky Beach. Jupiter memenangkan hak memakai mobil mewah itu lengkap dengan supirnya yang dari lnggris beberapa waktu yang lalu, dalam sayembara yang diadakan oleh sebuah perusahaan penyewaan mobil, Rent-’n-Ride Auto Agency. Tapi kemudian hak penggunaan itu habis. Untung saja ada August August seorang anak lnggris yang ditolong oleh Trio Detektif sehingga berhasil menemukan harta warisan yang sangat berharga. Dan berkat bantuan teman baru itu, hak mereka untuk menggunakan mobil mentereng itu beserta pengemudinya bisa diperpanjang lagi. "Very good, Master Jupiter,” kata supir bangsa Inggris itu dengan sikap anggun. Ia biasa bergaul dengan kaum bangsawan di negerinya, sehingga sikapnya pun mirip mereka. Jupiter dan kedua temannya pada mulanya tidak biasa menghadapi tingkah laku yang begitu berbasa-basi. Maklumlah, kaum remaja Amerika lebih cenderung bersikap seadanya saja. Tapi lama-lama mereka biasa juga disapa dengan sebutan Master, yang berarti ‘Tuan muda’ Worthington memarkir mobil mewah itu, lalu ketiga remaja penumpangnya turun. Mereka menghampiri jendela toko yang sempit dan berdebu. Pada kaca jendela itu tertulis, A. Felix — Tukang Jam dengan cat emas yang sudah terkelupas di sana-sini. Mereka mengintip ke dalam. Di balik kaca nampak berbagai jenis jam berjejalan: besar-kecil, baru dan antik. Ada yang biasa-biasa saja bentuknya dan ada pula yang penuh hiasan meriah, dengan burung-burung dan bunga. Sementara mereka masih memandang ke dalam, pintu sebuah jam tinggi yang terbuat dari kayu terbuka. Dari dalamnya muncul sebuah boneka peniup terompet. Boneka itu melangkah seperti orang berbaris. Kemudian mengambil sikap tegak, mengangkat terompet. lalu meniupnya beberapa kali untuk memberi tahu pukul berapa saat itu. “Lucu,” kata Pete mengomentari. “Aku lebih suka diberi tahu dengan terompet, dibandingkan dengan jeritan.” “Yuk, kita masuk,’ ajak Jupiter. “Mungkin Mr. Felix bisa memberi keterangan lebih lanjut” Begitu pintu toko didorong, ketiga remaja itu bingung sejenak. Ruangan sempit itu seperti penuh dengan bunyi dengung nyaring. Seakan-akan ada sejuta lebah di tempat itu, kemudian mereka sadar bahwa bunyi itu berasal dan kumpulan jam yang ada di situ. Mungkin seratus atau bahkan lebih — semuanya berdetik dan berdetak serempak. Seorang laki-laki tua bertubuh kecil datang menghampiri mereka, menyusur gang yang penuh dengan jam. Mata orang itu bersinar-sinar di bawah alis tebal yang sudah putih. Ia memakai celemek dari kulit. “Kalian menginginkan jam yang istimewa barangkali?” kata Mr. Felix — karena memang dialah tukang jam yang bemama demikian. Nada suaranya ramah. “Atau mungkin hendak membetulkan arloji rusak?” “Tidak, Sir,” kata Jupiter dengan sopan. “Kami cuma ingin meminta keterangan sedikit tentang jam ini” Sambil berkata begitu. dibukanya tas yang dibawa lalu dikeluarkannya jam yang bisa menjerit. Mr. Felix meneliti jam itu sesaat “Jam weker listrik, model yang sudah agak tua,” katanya sambil meneliti. ‘Tidak begitu berharga. Menurutku, biaya reparasinya lebih mahal daripada harga bendanya sendiri.” “Jam itu tidak perlu dibetulkan,” kata Jupiter. ‘Coba saja Anda sambungkan stekernya ke stop-kontak” Sambil mengangkat bahu, laki-laki wa itu menuruti permintaan Jupiter. "Sekarang geser tuas untuk mengaktifkan weker,” kata Jupiter lebih lanjut . Hal itu dilakukan oleh Mr. Felix. Seketika itu juga suara jeritan menggema nyaring dalam ruangan toko yang sempit. Laki-laki tua itu buru-buru menggeser kembali tuas kecil yang terdapat di bagian belakang jam. Seketika itu juga jeritan tadi lenyap. Mr. Felix mengangkat jam itu lalu mengamatinya dengan lebih teliti. Ia tersenyum. "Ya, sekarang kuingat lagi jam ini,” katanya. Pekerjaannya waktu itu cukup rumit, walau tidak lebih rumit dari lain-lainnya yang juga pernah kulakukan.” “Jadi Anda yang membuat jam ini bisa menjerit? " kata Pete meminta penegasan. "Betul — aku yang membuatnya. Hebat juga ya, tekniknya? Tapi tidak bisa kuceritakan pada kalian siapa yang memberi tugas. Rahasia pelanggan selalu kujaga baik-baik” "Memang betul,” kata Jupiter. “Tapi yang menjadi soal sekarang, jam ini ditemukan terbuang dalam tumpukan barang bekas lainnya. Pemiliknya pasti membayar banyak pada Anda untuk membuatnya bisa menjerit, jadi tak mungkin ia kemudian membuangnya — kecuali apabila terjadi secara tak sengaja. Sekarang kami ingin mengembalikannya pada orang itu.” “Begitu.” kata Mr. Felix dengan sikap merenung. “Kami mengharap akan mendapat hadiah untuk itu,” kata Bob menambahkan, supaya kedengaran lebih meyakinkan. Mr. Felix mengangguk “Ya, itu masuk akal. Memang, mestinya jam ini terbuang dengan tidak sengaja, karena belum rusak. Kalau begitu kurasa aku bisa mengatakan apa yang kuketahui. Nama orang yang memesan jam ini Clock” “Clock?” seru Bob dan Pete serempak. Mereka merasa heran, karena nama itu dalam bahasa lnggris berarti ‘Jam’. “Betul, Clock. Orang itu mengatakan bahwa namanya begitu. A. Clock! Tentu saja aku menganggap ia cuma bercanda saja, karena ia sudah beberapa kali kemari membawa jam untuk dikerjakan.” “Rasanya itu bukan namanya yang asli,” kata Jupiter menimbang-nimbang. “Tapi itu tidak menjadi soal. Pokoknya jika Anda mau mengatakan di mana ia tinggal, kami bisa saja pergi mendatanginya.” “Sayangnya aku cuma tahu nomor teleponnya saja. Tapi kalian kan bisa menelepon untuk menghubunginya.” Laki-laki tua itu pergi ke balik meja pelayanan dan mengeluarkan sebuah buku catatan berukuran besar dari rak. Ia membalik-balik halaman buku itu, lalu berhenti pada suatu halaman tertentu, “A. Clock.” katanya sambil membaca. “Nomor teleponnya —“ Disebutkannya nomor telepon orang itu, yang langsung dicatat oleh Bob dalam buku catatannya. "Masih ada keterangan lainnya lagi, Sir?" tanya Jupiter. Mr. Felix menggelengkan kepala. "Cuma itu saja,” katanya. “Mungkin bahkan dengan itu saja aku sudah terlalu banyak membeberkan. Sekarang maaf, ya pekerjaanku masih banyak yang menunggu. Waktu sangat berharga, dan harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya." Laki-laki tua itu masuk lagi ke tempat kerjanya. Jupiter meluruskan sikapnya, seolah-olah hendak menyatakan kebulatan tekad. "Lumayan juga kemajuan yang kita capai sampai sekarang," katanya. “kini kita hubungi nomor yang diberikan Mr. Felix tadi. Ketika datang kemari, aku sempat melihat bahwa di pojok jalan ada tempat menelepon.” "Apa yang akan kaukatakan nanti?” tanya Pete sementara Jupiter memasuki bilik telepon itu. “Aku akan bersiasat agar bisa mendapatkan alamatnya," kata Jupiter. Bob dan Pete ikut masuk ke dalam bilik telepon sempit itu, karena ingin mengikuti pembicaraan. Penyelidik Pertama memasukkan mata uang ke celah, lalu memutar nomor yang dicatat oleh Bob tadi. Setelah menunggu sesaat terdengar suara seorang wanita. "Selamat siang,” kata Jupiter. Suaranya diberatkan, agar terdengar seperti orang dewasa. Anak itu memang sangat berbakat di bidang akting, dan kadang-kadang bakat itu dipergunakan olehnya. “Di sini perusahaan telepon. Kami hendak memeriksa keluhan tentang sambungan rangkap. “Sambungan rangkap? Saya tidak mengerti maksud Anda,” kata wanita yang menerima telepon. “Ada beberapa pelanggan di sektor kediaman Anda mengeluh sering salah sambung,” kata Jupiter. “Saya ditugaskan mengecek alamat-alamat yang nomornya saya putar. Dengan begitu bisa kami ketahui di mana letaknya kesalahan hubungan. Jadi kalau saya boleh tahu alamat rumah ini?’ “Alamat rumah? Ini Franklin Street, nomor 309. Tapi saya masih belum, mengerti -" Kalimat itu tidak selesai diucapkan, karena tiba-tiba terdengar suara orang menjerit. Suara berat seorang laki-laki. Seolah-olah ada pria bertubuh besar yang menjerit ketakutan. Ketiga remaja itu pasti sudah terlonjak mendengamya, apabila saat itu mereka tidak sedang berdesak-desakan dalam bilik telepon yang sempit. Apalagi terlonjak, bahkan bernapas dengan bebas pun sudah sulit di situ. Walau demikian mereka masih saja kaget setengah mati. Sedang hubungan telepon terputus. Bab 4 Melacak Jeritan “Mestinya inilah blok itu, Worthington,” kata Jupiter. “Sekarang kita jalan pelan-pelan, sambil mencari alamat rumahnya.” “Baik Master Jones,’ kata pengemudi Rolls- Royce yang ditumpangi. Mobil mewah itu dijalankan lambat-lambat, menyusuri Franklin Street. Jalan itu letaknya di kawasan yang agak tua dan dulunya tergolong mentereng di kota itu. Rumah-rumah di situ besar-besar, walau nampak agak kurang terawat. “Itu dia!” seru Pete setelah beberapa saat mencari-cari. Worthington menghentikan mobil ke pinggir. Jupiter mengajak kedua sahabatnya turun, lalu berjalan menghampiri rumah yang dicari. Mereka memperhatikan bangunan itu dengan penuh minat. Kerai pada jendela-jendelanya diturunkan semua. Rumah itu menampakkan kesan tidak ditinggali lagi. Di depan pintu rumah ada dua jenjang. Ketiga remaja itu naik lalu membunyikan bel. Agak lama juga mereka menunggu tanpa terjadi apa-apa. Kemudian pintu berderik terbuka. Seorang wanita berdiri di ambangnya. Ia belum begitu tua. Tapi kelihatannya letih. Dan sama sekali tidak gembira. “Maaf jika kami mengganggu, tapi kami ingin bertemu dengan Mr. Clock." kata Jupiter. “Mr. Clock?” Wanita itu kelihatannya heran. “Di sini tidak ada yang bernama begitu.” “Mungkin itu bukan namanya yang asli,” kata Jupiter menjelaskan, “tapi ia penggemar jam. Dan ia tinggal di sini. Atau mungkin juga pernah.” “Penggemar jam? Kalau begitu yang kaumaksudkan pasti Mr. Hadley. Tapi Mr. Hadley sudah -" “Jangan bilang apa-apa pada mereka!” Seorang pemuda berambut hitam tiba-tiba muncul dan berdiri di depan wanita tadi. Umur pemuda itu sekitar tujuh belas tahun. Ia menatap Trio Detektif dengan tampang masam, “Jangan mau bicara dengan mereka, Bu!” tukasnya. "Tutup saja pintu. Urusan apa mereka kemari lalu seenaknya saja bertanya-tanya?” “Jangan begitu, Harry,” kata wanita tadi pada pemuda itu, yang rupanya anaknya. “Itu tidak sopan. Mereka ini kelihatannya anak baik-baik. Mereka mencari Mr. Hadley — setidak-tidaknya begitulah menurut dugaanku.” “Mr. Hadley-kah yang tadi menjerit, beberapa menit yang lalu?” tanya Jupiter dengan tiba-tiba. Pemuda yang bernama Harry menatapnya dengan mata terbelalak. “Ya, betul!” jawabnya dengan kasar. “Itu jeritannya sebelum mati. Sekarang cepat pergi dan sini, karena kami masih harus menguburkan Mr. Hadley.” Sehabis berkata begitu ditutupnya pintu dengan keras. “Kalian dengar itu?” kata Pete. “Mereka baru saja membunuh orang dan kini hendak menguburkan mayatnya!” "Apakah tidak lebih baik jika kita panggil saja polisi?” kata Bob. “Jangan panggil polisi dulu,” kata Jupiter. Sebelumnya kita masih perlu mengumpulkan keterangan lebih banyak. Kita harus berusaha memasuki rumah ini.” “Secara paksa maksudmu?” tanya Bob. “Bukan — bukan dengan cara begitu,” jawab Jupiter sambil menggeleng. “Kita harus membuat mereka tadi mengizinkan kita masuk,” Dengan suara pelan Jupiter mengatakan bahwa ia melihat pemuda yang bernama Harry mengintip dan balik jendela di sebelah pintu. “Akan kubunyikan bel sekali lagi.” Jupiter menekan bel keras-keras. Seketika itu juga pintu rumah dibuka dan dalam. “Ayo, pergi! Tadi kan sudah kukatakan,” bentak Harry. “kami tidak ingin diganggu?” ‘Kami tidak bermaksud mengganggu,” kata Jupiter dengan cepat. “Kami ini sedang mengusut suatu kejadian misterius. Untuk itu kami memerlukan bantuanmu. Nih — kartu pengenal kami.” Dengan sigap dikeluarkannya selembar kartu nama dan kantungnya. Harry menerimanya lalu menyimak tulisan yang tertera di situ. TRIO DETEKTIF “Kami Menyelidiki Apa Saja” ? ? ? Penyelidik Satu — Jupiter Jones Penyelidik Dua — Peter Crenshaw Catatan dan Penelitian — Bob Andrews “Apa arti ketiga tanda tanya ini?” kata Harry dengan nada mengejek “Anu ya — artinya tidak tahu harus berbuat apa!?” "Itu merupakan lambang pertanyaan yang tak terjawab, teka-teki yang tak terpecahkan, misteri yang tak terjelaskan,” jawab Jupiter. “Semboyan kami yang ini — 'Kami menyelidiki apa saja’. Saat ini kami sedang menyelidiki sebuah jam yang sangat aneh. Ini dia barangnya.” Jupiter menyodorkan jam weker yang dibawanya pada Harry. Pemuda itu kelihatannya ingin tahu, karena ia meneliti alat penunjuk waktu itu. “Apanya yang kaukatakan aneh?” tanya Harry kemudian. “Bisa kutunjukkan, jika kami boleh mempergunakan sambungan listrik di dalam rumah sebentar,” jawab Jupiter, Ia Iangsung melangkah masuk dengan sikap yakin bahwa Harry pasti akan mengizinkan. Dan ternyata pemuda itu memang agak menepi, memberi jalan. Jupiter bersama kedua temannya memasuki suatu serambi yang gelap dan sempit. Di satu sisinya nampak tangga yang menuju ke tingkat atas. Sedang di sisi seberangnya ada jam besar. Bunyi detiknya nyaring dalam ruangan sempit itu. Di sampingnya terdapat sebuah meja dengan pesawat telepon di atasnya. Bob dan Pete melirik ke sana kemari, mencari-cari tubuh Mr. Hadley yang mereka kira pasti tergeletak di situ. Tapi tidak ada mayat di situ. Sementara itu Jupiter sudah melihat stop kontak di samping jam. "Di sini sajalah,” katanya sambil memasukkan steker jam weker yang dibawanya ke sambungan listrik itu. “Dengar baik-baik, karena sekarang aku akan menggeser tuas kecil ini!” Sekali lagi weker itu memperdengarkan jeritannya. Bunyinya dalam serambi gelap itu menyebabkan Pete dan Bob merinding karena seram. “Nah.” kata Jupiter sambil mencabut steker, "bagaimana — bukankah ini barang misterius yang pantas diselidiki asal-usulnya?" "Tidak!” jawab Harry dengan kasar. “Siapa pun bisa membuat jam yang menjerit. Tidak percaya? Bisa kubuktikan! Tunggu sebentar” Sambil berkata begitu, ia meraih sisi belakang jam besar. Ternyata untuk menjangkau kabel listrik. Kabel itu disambungkannya ke stop-kontak. Bulu tengkuk Jupiter serta kedua temannya merinding ketika mendengar suara berat seorang laki-laki menjerit. Jeritan itu meninggi lalu menjauh. Kedengarannya seperti jeritan seseorang yang jatuh dari tebing yang tinggi. Jam besar itu bisa menjerit! Rupanya jeritan itulah yang mereka dengar tadi lewat telepon. Wanita tadi muncul sambil bergegas-gegas dari salah satu kamar belakang. “Aduh, Harry! Kenapa —“ Ia tertegun ketika melihat Jupiter dan kedua temannya ada di situ. “Oh,” kata wanita itu agak bingung. “Kaumasukkan mereka rupanya. Kenapa, Harry? Mau apa mereka?" “Mereka membawa weker yang bisa menjerit, Bu,” kata Hany sambil menarik kabel dari stop-kontak “Aku belum pernah melihatnya. Tapi mestinya kepunyaan Mr. Hadley.” Ia mengambil weker yang tadi diletakkan di atas meja, lalu menyodorkan benda itu pada ibunya. Wanita itu menggeleng. “Aku juga belum pernah melihatnya,” katanya. “Kau pasti itu kepunyaan Mr. Hadley?” “Pasti, Bu,” kata Harry. “Siapa lagi kecuali dia yang bisa membuat jam berteriak?” “Ya. memang,” kata ibunya. “Tapi dari mana anak-anak ini memperolehnya?” “Belum tahu.” kata Harry. Suaranya masih bernada marah. Tapi sudah agak lebih ramah dibandingkan dengan suaranya tadi. “Mereka bertiga ini mengaku penyelidik! Dan karena pada mereka ada jam yang pasti milik Mr. Hadley, aku lantas ingin tahu apa sebetulnya yang mereka kehendaki.” Harry membuka sebuah pintu. Ia menggamit ketiga remaja itu, menyuruh mereka masuk. Ruangan yang dimasuki ternyata sebuah ruang perpustakaan. Ruangannya lapang. Pada dinding-dindingnya yang berlapis kayu dipolitur tergantung sejumlah lukisan cat minyak. Pada dinding yang berseberangan dengan pintu ada sebuah cermin besar. Bayangan mereka yang baru mnasuk nampak di situ. Perpustakaan itu berisi buku-buku yang teratur, rapi dalam rak-rak setinggi langit-langit. Tapi perhatian Jupiter serta kedua temannya terarah pada jam-jam yang ada di situ. Berlusin-lusin jumlahnya. Ada yang tegak di lantai seperti jam besar di serambi depan tadi. Sedang yang lainnya ada yang di atas meja, dan ada pula yang dipajang dalam rak. Semua nampak antik dan mahal. Mekanisme jam-jam itu rupanya sudah diubah memakai tenaga listrik, karena sama sekali tak terdengar detak-detik suara alat-alat penunjuk waktu itu. Hanya desuman lembut saja yang sampai ke telinga. “Kalian lihat jam-jam ini? Semuanya bisa menjerit,” kata Harry. Bab 5 Kamar Jam Suara jeritan menggema. Memenuhi ruangan lapang itu. Mulanya jeritan melengking tinggi, seperti suara bayi yang ketakutan. Disusul suara teriakan marah seorang laki-laki. Lalu digantikan raungan liar binatang buas. Itu jeritan macan tutul. Setelah itu dari segala penjuru datang jeritan, lengkingan, teriakan, auman, dan raungan binatang. Semuanya berbaur menimbulkan suara yang menegakkan bulu roma, Jupiter dan kedua temannya duduk berdampingan di sofa. Rasanya belum pernah mereka mendengar bunyi yang begitu menyeramkan seumur hidup mereka. Harry duduk menghadapi sebuah meja. Tangannya bergerak kian kemari, sibuk menggerakkan seperangkat tuas yang menyebabkan ruangan itu dipenuhi suara jerit dan teriakan. Kini nyata bagi Trio Detektif, bahwa segala jam yang ada dalam ruangan itu diperlengkapi dengan mekanisme untuk bisa mengeluarkan teriakan. Kemungkinannya mekanisme yang dipakai mirip dengan yang ada pada weker. Harry membuat jam-jam itu menjerit satu per satu dan semuanya serempak dengan kecekatan yang menunjukkan bahwa ia sudah biasa melakukannya. Pemuda itu memandang Trio Detektif sambil nyengir. Ia merasa senang melihat wajah mereka yang tercengang. Akhirnya semua mekanisme dimatikan, dan ruangan itu hening kembali seperti semula. “Pasti kalian baru sekali ini mendengar seperti itu tadi,” katanya. “Sekarang tentunya mengerti, apa sebabnya weker kalian sama sekali tidak membuat aku heran. Aku sudah terbiasa mendengar jam yang menjerit” “Apakah ruangan ini dibuat kedap suara?’ tanya Jupiter. “Sebab kalau tidak, polisi pasti datang sebentar lagi, karena dipanggil para tetangga yang merasa terganggu.” “Tentu saja kedap suara,” kata Harry dengan sikap agak menyombong. “Ini kamar jeritan Mr. Hadley. Saat malam hari dulu, ia suka duduk-duduk di sini sambil membunyikan kumpulan jamnya. Ia mengajari aku tekniknya sebelum ia—” Harry tidak menyelesaikan kalimat itu. “Pokoknya, aku diajari olehnya.” “Apakah yang teijadi dengan Mr. Hadley kemudian?’ tanya Jupiter. “Tidak ada apa-apa yang terjadi dengannya. Kenapa harus terjadi apa-apa?" tukas Harry. “Kau tadi mengatakan, ‘sebelum ia —, tapi tidak kauteruskan. Kusangka kau hendak mengatakan bahwa ia mengalami sesuatu.” “Ia kemudian pergi dan sini. Cuma itu saja. Lagi pula, itu sama sekali bukan urusanmu!” “Kami mulai dengan pengusutan sebuah weker yang bisa menjerit,” kata Jupiter, “lalu kini ternyata menjumpai sebuah ruangan penuh dengan jam yang semuanya menjerit! Menurut dugaanku. Ini bukan misteri yang biasa-biasa saja! Untuk apa ada orang mengutak-atik begini banyak jam sehingga bisa menjerit dengan suara manusia serta binatang? Aku tidak melihat gunanya!” "Aku setuju sekali,” kata Pete mengutarakan pendapatnya. “Belum pernah kudengar ada hal seedan ini.” “Itu merupakan kegemaran Mr. Hadley.” Harry kini mengambil sikap bertahan, “Dan yang namanya kegemaran itu tidak perlu ada gunanya. Ia ingin mempunyai hobby yang lain dan yang lain, dan karenanya lantas mengumpulkan jam yang menjerit. Kalau kau — kegemaranmu apa?” Pertanyaan itu dilontarkannya pada Jupiter. “Mengusut misteri — seperti yang sekarang ini,” jawab Jupiter. “Kan sudah kukatakan, di sini sama sekali tidak ada misteri,” tukas Harry. “Mungkin memang begitu — tapi yang jelas ada sesuatu yang mengganggu perasaanmu. Kau bersikap seperti membenci setiap orang. Kenapa tidak kauceritakan saja persoalan yang sedang kauhadapi? Mungkin kami bisa menolong.” “Bagaimana mungkin kalian bisa menolong?” Harry sudah nampak marah lagi. “Maksudku, tak ada yang menyebabkan perasaanku tidak enak — kecuali kalian bertiga! Kalianlah yang menggangguku. Kenapa kalian tidak pergi saja. Jangan ganggu aku lagi!” Harry lari ke pintu lalu membukanya. “Keluar!” sergahnya. “Dan jangan kembali lagi, karena —“ Harry tergagap. Pintu depan rumah dibuka dari luar. Seorang laki-laki bertubuh besar melangkah masuk. Orangnya tidak begitu jangkung, tapi bahunya lebar sekali. Orang itu memandang Harry sebentar, lalu menatap Jupiter, Bob, dan Pete silih berganti. Tampangnya masam. “Ada apa ini?” tanya laki-laki itu pada Harry. “Kau mengajak kawan-kawanmu masuk untuk bermain-main, berbuat berisik sehingga aku nanti terganggu? Kau kan tahu, aku memerlukan ketenangan seratus persen.” “Kami sama sekali tidak berisik, Mr. Jeeters,” jawab Harry dengan sikap cemberut. “Lagi pula, bunyi dalam kamar ini tidak bisa didengar dari luar.” Laki-laki bertubuh besar itu menatap Trio Detektif silih berganti, seakan hendak mengingat-ingat tampang mereka bertiga. “Aku nanti perlu bicara sedikit dengan ibumu” kata orang itu sambil menaiki tangga menuju tingkat atas. “Kenapa ia tidak suka jika kau mengajak orang masuk kemari?” tanya Bob bingung. “Ini kan rumahmu sendiri?” “Bukan, ini rumah Mr. Hadley,” kata Harry. “Ibuku pengurus rumah tangganya. Sejak Mr. Hadley pergi, kami tinggal di sini. Tingkat atas disewakan Ibu pada Mr. Jeeters, untuk memperoleh uang guna merawat rumah ini. Sekarang sebaiknya kalian pergi saja — supaya tidak menambah kerepotan. “Baiklah,” kata Jupiter. “Yuk. Bob, Pete. Terima kasih, Harry, untuk kebaikanmu menunjukkan jam-jam lain yang bisa berteriak tadi.” Jupiter melangkah ke luar, sambil mengambil weker yang tadi diletakkan di atas meja dekat jam besar. Bersama kedua temannya ia kembali ke tempat Worthington memarkir mobil. "Tidak banyak yang kita capai dalam pengusutan ini,” kata Pete menggerutu sementara mereka masuk ke mobil. “Menurutku, siapa pun berhak mengumpulkan jam yang bisa menjerit, jika itu memang kegemarannya. Kurasa misterimu berakhir sampai di sini saja, Jupe.” “Ya. kurasa juga begitu," kata Jupiter sependapat. Ia mengarahkan kata-kata selanjutnya pada Worthington. "Karena kita sudah ada di Hollywood, kita mampir sebentar di World Studios tempat Mr. Hitchcock aku ingin minta kesempatan bertemu dengan dia. Mungkin saja ia tertarik pada jam kita ini. “Baik, Master Jupiter." kata Worthington sambil menghidupkan mobil. "Tunggu sebentar,” seru Bob dengan tiba-tiba, karena melihat Harry berlari keluar dan rumah dan mendatangi mereka. Pete membuka kaca jendela mobil. Harry menjulurkan kepalanya ke dalam. "Untung kalian belum pergi,’ katanya dengan napas tersengal-sengal. "Tekadku sudah bulat sekarang! Kalian kan penyelidik —jadi kurasa ada kemungkinan kalian bisa menolongku. Ayahku saat ini mendekam di penjara karena dipersalahkan melakukan sesuatu yang sama sekali tidak dibuatnya. Aku ingin minta tolong pada kalian untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah." Bab 6 Misteri Bertambah “Masuk saja dulu dan ceritakan soalnya,” kata Jupiter sambil membukakan pintu. “Setelah itu akan kita lihat, apakah kami bisa membantumu atau tidak.” Kisah yang dituturkan Harry tidak panjang. Sekitar tiga tahun yang lalu ia ikut ayah dan ibunya pindah tempat kediaman ke rumah Mr. Hadley. Orang itu tidak menikah. Ibu Harry diminta bantuannya untuk mengatur urusan rumah tangga Mr. Hadley, dengan imbalan hak menempati suatu apartemen kecil di belakang serta gaji sekadarnya. Ayah Harry bekerja sebagai agen perusahaan asuransi jiwa. Saat itu usahanya baru mulai dikembangkan. Keadaan mereka di situ cukup lumayan. Tapi enam bulan yang lalu terjadi perampokan di rumah seorang pengusaha di Beverly Hills yang letaknya tidak jauh dari situ. Yang dicuri tiga lukisan modern yang sangat berharga. Diduga pencurinya masuk dengan jalan menyusup lewat sebuah jendela yang sempit sekali. Atau lewat pintu depan, dengan memakai kunci palsu. Sedang ketiga lukisan itu direnggutkan dari bingkainya masing-masing. Polisi mengetahuinya berdasarkan pengusutan yang dilakukan, bahwa Ralph Smith — demikianlah nama ayah Harry—beberapa minggu sebelum peristiwa pencurian itu pernah datang ke rumah itu, untuk menawarkan jasa asuransi jiwa pada pengusaha bersangkutan. Pada kesempatan itu tentu saja ia melihat lukisan-lukisan yang kemudian hilang dicuri. Tapi Ralph Smith mengatakan tidak tahu apa-apa tentang seni, jadi tidak tahu bahwa ketiga lukisan itu sangat berharga. Hanya berdasarkan alasan karena ia pernah masuk ke rumah yang kecurian itu, polisi kemudian menggeledah tempat tinggal keluarga Smith. Dan temyata ketiga lukisan yang hilang itu ditemukan terselip di bawah alas lantai dapur. Ayah Harry langsung ditahan. Oleh pengadilan ia dianggap terbukti melakukan pencurian. Untuk itu ia dijatuhi hukuman penjara lima tahun. Itu terjadi tiga bulan yang lalu. Ayah Harry tetap berkeras mengatakan bahwa ia tidak bersalah dan tidak tahu bagaimana lukisan-lukisan itu bisa sampai ada di bawah alas lantai dapur tempat kediamannya. Tapi hakim tetap pada keputusan semula, "Padahal ayahku benar-benar tidak bersalah!” kata Harry mengakhiri kisahnya. “Ayahku bukan penjahat. Kalau ia yang mencuri, pasti aku serta ibuku tahu. Tapi polisi kini malah beranggapan bahwa ialah yang sering melakukan pencurian benda-benda seni di kota ini selama sepuluh tahun belakangan ini. Dugaan mereka hanya karena ayahku agen asuransi yang malam-malam suka datang ke rumah orang." “Jadi sekarang aku ingin menyewa kalian untuk membantuku membersihkan nama ayahku. Tapi aku tidak bisa membayar banyak. Uangku di tabungan cuma ada lima belas dollar, Tapi semuanya akan kuberikan pada kalian, apabila kalian bisa menolong ayahku.” Jupiter terkejap-kejap matanya, memikirkan urusan itu. Sedang Bob dan Pete berlagak tolol. Menurut mereka, polisi tak mungkin akan menyebabkan ayah Harry dihukum apabila tidak memiliki bukti-bukti kuat. “Kasus ini sulit sekali, Harry,” kata Jupiter kemudian. “Rasanya tidak banyak yang bisa dijadikan pegangan.” “Kalau soalnya gampang, untuk apa aku menyewa penyelidik!" Harry sudah mulai panas lagi. “Kalian membawa-bawa kartu nama yang menyatakan bahwa kalian ini penyelidik. Aku kepingin lihat buktinya. Lakukanlah pengusutan!” Jupiter mencubiti bibir bawahnya. Hal itu selalu dilakukannya apabila sedang sibuk berpikir. “Baiklah paling sedikit kami nanti akan memikirkannya," katanya menerima permintaan Harry. "Tapi jika bukan ayahmu yang mencuri, kenapa lukisan-lukisan itu tahu-tahu ada di bawah alas lantai dapur tempat kediaman kalian?” “Aku tidak tahu,” Harry berbicara dengan nada sedih. “Mr. Hadley dulu sering kedatangan tamu. Mungkin salah satu dari mereka yang menyembunyikannya di situ. Atau mungkin seseorang yang hendak membalas dendam terhadap ayahku karena salah satu sebab. Bisa saja orang itu menyelinap masuk malam-malam, lalu sengaja menyembunyikan lukisan-lukisan itu di suatu tempat yang tidak sukar diketahui.” "Apakah kalian tidak biasa mengunci pintu sebelah belakang?” tanya Bob, “Tentu saja dikunci,” jawab Harry. “Tapi rumah itu sudah tua. Pintunya bisa dibuka dengan gampang. Kami tidak pernah merepotkannya karena tidak ada barang berharga di tempat kami yang mungkin akan menarik untuk dicuri.” “Hmmm.” Jupiter masih saja mencubiti bibir bawahnya. “Lukisan-lukisan itu diselipkan ke bawah alas lantai dapur. Itu tempat yang paling gampang dicapai jika yang melakukannya masuk lewat pintu belakang. Dengan mudah saja itu disembunyikan di situ, lalu pergi lagi tanpa perlu masuk ke rumah.” "Itu pertimbangan yang bagus sekali, Jupe,” kata Pete. “Pasti menang begitulah kejadian sebenarnya.” “Bagaimana jika Mr. Hadley yang mencuri lalu menyembunyikan lukisan-lukisan itu di situ?” sela Bob. “Apakah waktu itu polisi juga mencurigainya?" tanya Jupiter. Harry menggeleng. “Mr. Hadley tak mungkin akan melakukan perbuatan begitu,” katanya menjelaskan. “Ia suka pada kami, kecuali itu ia ada di rumah ketika ketiga lukisan itu dicuri.” “Kalau begitu memang tidak mungkin,” kata Jupiter sependapat. “Walau demikian aku merasa agak aneh juga.” “Apanya yang aneh?” tanya Bob. “Kita kan mulanya mengusut sebuah jam aneh yang bisa berteriak. Kita berhasil mengetahui bahwa pemiliknya dulu mempunyai kegemaran mengumpulkan jam yang bisa menjerit. Pengusutan terhadap jam membawa kita pada misteri lain, yaitu siapa yang mencuri lukisan-lukisan berharga lalu mengatur sedemikian rupa sehingga ayah Harry kemudian dipenjarakan karena dipersalahkan mencuri lukisan-lukisan itu. Yang aneh bagiku ialah bahwa misteri yang satu membawa kita ke misteri lain. Tapi itu masuk akal — jika antara keduanya memang ada hubungan.” “Hubungan yang bagaimana?’ desak Pete. “Aku juga tidak tahu.” kata Jupiter berterus terang. “Tapi walau begitu aku ingin tahu segalanya yang bisa kauceritakan mengenai Mr. Hadley, Harry. Kau mencatatnya, Bob.” Tidak terlalu banyak yang bisa diceritakan Harry pada mereka. Menurut dia, Mr. Hadley itu bertubuh gemuk pendek dan periang, kelihatannya uangnya banyak. Menurut kabar ia mewarisi harta itu beberapa tahun yang lalu. Dari pengamatan terhadap sejumlah kenalan yang kadang-kadang mampir, Harry serta ayah-ibunya menarik kesimpulan bahwa Mr. Hadley dulunya aktor. Soalnya kenalannya banyak yang kelihatannya orang teater. Tapi Mr. Hadley sendiri tidak pemah mengatakan apa-apa mengenai pekerjaannya dulu. Ia menjadi saksi dalam persidangan yang mengadili ayah Harry. Mr. Hadley mengatakan bahwa ia yakin Ralph Smith tidak bersalah. Ia kelihatannya kaget sekali ketika akhirnya ayah Harry dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara. Lalu tidak lama kemudian ia mengatakan hendak ke luar negeri guna merawat kesehatannya. Dimintanya pada Mrs. Smith agar merawat rumah selama ia pergi. Mr. Hadley berangkat membawa dua buah koper. Sejak itu tidak pernah ada kabar mengenainya. Beberapa kenalannya mula-mula masih ada yang mampir. Tapi akhirnya tak seorang pun muncul. Uang yang ditinggalkan untuk ongkos merawat rumah lama-kelamaan habis. Sekitar saat itu Mr. Jeeters muncul. Ia mencari tempat pondokan. lbu Harry lantas mengambil keputusan. Rumah bagian tingkat atas disewakan padanya. Sewaktu mengadakan perjanjian sewa-menyewa, Mr. Jeeters menegaskan bahwa ia memerlukan ketenangan dan sama sekali tidak mau diganggu. Ia rewel sekali mengenai soal itu. “Itulah semuanya yang kuketahui,” kata Harry. “kalian tentu akan mengatakan, itu tidak banyak. Kalau kupikir lebih lanjut, rasanya kalian takkan bisa menolong ayahku,” katanya suram. “Tidak ada yang bisa! Maaf atas sikapku yang kasar tadi. Aku yang membunyikan jam besar dalam serambi ketika kalian berbicara dengan ibuku lewat telepon. Maksudku untuk mencegah ibuku meneruskan bicara. Mulanya kusangka kalian wartawan atau sebangsanya. Soalnya — yah, aku jengkel mengenai segala-galanya.” “Kami mengerti,” kata Jupiter, dan kami akan memikirkan masalah ini. Jika kami menemukan jalan pemecahannya, nanti kau akan kami hubungi.” Harry turun dan mobil lalu kembali ke rumah. Worthington menghidupkan mobil lagi. “Ke mana kita, Master Jupiter?” tanya supir itu. “Pulang?” Jupiter menggeleng. Kelihatannya ia sibuk berpikir. “Kita tadi kan bermaksud hendak mampir di kantor Alfred Hitchcock,” katanya. “Jika Mr. Hadley itu dulu aktor, ada kemungkinan Mr. Hitchcock kenal padanya. Beratus-ratus aktor pernah bekerja dengan sutradara itu. Antarkan kami ke World Studios, Worthington.” ‘Baik, Sir.” Supir berbangsa lnggris itu memutar mobil lalu menekan pedal gas. Beberapa menit kemudian mereka sudah sampai di gerbang depan World Studios, yang menempati satu blok penuh di balik pagar tinggi. Penjaga gerbang menelepon sebentar untuk menanyakan apakah Mr. Hitchcock ada di kantor. Tenyata ada. Kebetulan sutradara terkenal itu ada waktu sedikit, sehingga bisa menerima kedatangan ketiga remaja itu. Tidak lama kemudian mereka sudah duduk menghadapi meja kerjanya yang besar. “Nah,” kata Alfred Hitchcock dengan suaranya yang berat, “ada urusan apa kalian datang kemari? Sudah sibuk lagi dengan pengusutan baru?” "Ya, Sir,” kata Jupiter. “Tapi saat ini situasinya tidak jelas. Saya tidak tahu pasti persoalannya memang perlu diselidiki atau tidak. Begini soalnya. kami mulanya hendak mengusut jam yang menjerit." “Jam Menjerit?” potong Alfred Hitchcock dengan nada heran. “Apa kabarnya orang itu? Sudah bertahun-tahun aku tidak mendengar apa-apa tentang dia!” Bab 7 Perampasan “Orang?" Kini Jupiter yang berseru heran. “Maksud Anda, ada orang yang namanya begitu?” "Itu julukannya,” kata Mr. Hitchcock menjelaskan. ‘Nama aslinya Albert Clock. Orang-orang iseng menjulukinya Screaming Clock — Jam Menjerit. Ia memang penjerit” Keterangan Mr. Hitchcock malah semakin membingungkan Jupiter. Apalagi Pete dan Bob — mereka hanya bisa melongo saja. “Penjerit?” tanya Jupiter. ‘Saya tidak mengerti maksud Anda” “Pekerjaannya menjerit,” kata Mr. Hitchcock terkekeh geli. “Dulu sewaktu televisi belum ada, acara sandiwara radio dengan kisah-kisah misteri sangat digemari orang. Bahkan pernah dalam seminggu ada tiga puluh lima acara kisah misteri. Kalian masih kecil — jadi tidak mungkin mengalami masa itu. Tapi acara-acara kisah misteri itu sangat mengasyikkan! Dan kisah-kisah itu banyak yang mengandung adegan orarig menjerit. Jeritan selalu bisa menimbulkan ketegangan suasana. Mungkin kalian mengira setiap aktor bisa menjerit, kalau itu merupakan bagian dan peran yang dimainkannya. Itu memang betul. Tapi jika diperlukan suara jeritan yang benar-benar asyik, sutradara selalu memakai tenaga spesialis. Jadi orang semacam Aibert Clock itu, yang pekerjaannya khusus menjerit. Kurasa ia satu-satunya yang melulu hanya menjerit saja kerjanya. Aku pun sudah beberapa kali memakainya dalam film-filmku. Orangnya serba bisa. Ia bisa menjerit seperti anak kecil, wanita, laki-laki. Bahkan jeritan dan raungan beberapa jenis binatang pun bisa ditirukan olehnya. Ia selalu membanggakan diri sebagai ahli menjerit yang paling serba bisa. Tapi drama radio kemudian pudar kepopulerannya ketika televisi mulai berkembang. Profesi penjerit tidak begitu diperlukan lagi. Beberapa tahun yang lalu aku masih memakai Bert Clock dalam satu atau dua filmku. Tapi setelah itu ia seakan menghilang. Itulah sebabnya kenapa aku tadi mengatakan sudah bertahun-tahun tidak mendengar apa-apa lagi tentang dia. Dan kau tadi mengatakan kini sedang mengusut dirinya?” “Rupanya begitu, walau tadi kami belum tahu,” kata Jupiter. "Urusan sekarang ini kami mulai dengan mengusut sebuah jam yang benar — bukan orang yang julukannya begitu.” Dikeluarkannya jam weker dan tas yang dibawanya, lalu diperagakannya kemampuan alat penunjuk waktu itu untuk menjerit. Mr. Hitchcock sangat tertarik melihatnya. “Konstruksi yang benar-benar luar biasa,” katanya. “Kurasa jam ini memang merupakan pesanan Bert Clock— karena siapa lagi yang mau minta dibikinkan jam yang bisa menjerit, kecuali orang yang julukannya Jam Menjerit?” Jupiter kemudian menuturkan tentang kamar penuh jam yang sebelumnya telah mereka saksikan dengan mata dan telinga. Ia juga menyebutkan Mr. Hadley serta penangkapan terbadap diri Ralph Smith, ayah Harry. Mr. Hitchcock mendengarkan dengan serius. “Agak aneh juga,” katanya. “Hadley itu kurasa memang Bert Cock Clock memang bertubuh kecil. Katamu tadi, Hadley itu pendek gemuk Mungkin saja Clock sudah gemuk sekarang. Dan setelah kuingat-ingat tadi, aku memang pemah mendengar kabar bahwa ia mendapat harta warisan pada saat ia tidak sering lagi diperlukan di radio. Bisa saja kubayangkan ia minta dibikinkan berbagai jenis jam yang bisa menyuarakan bermacam-macam jeritan yang merupakan keistimewaannya, sebagai kenangan pada prolesinya di masa lampau dan juga sebagai lelucon baginya bersama kawan-kawan lamanya. Tapi aku tidak mengerti, apa sebabnya ia berganti nama.” “Apakah ia menaruh minat pada karya seni, Mr. Hitchcock?” tanya Bob. “Sepanjang pengetahuanku, tidak. Memang ada sejumlah aktor yang kegemarannya mengumpukan benda-benda seni. Di Hollywood sini banyak karya seni berharga yang dimiliki para aktor, produser, dan sutradara. Tapi aku tidak pernah mendengar bahwa Bert Clock menaruh minat ke arah itu.” “Terima kasih, Sir,” kata Jupiter. Ia berdiri, dilkuti kedua temannya. “Anda sudah memberikan sejumlah keterangan yang rasanya perlu kami pikirkan lebih lanjut. Misalnya saja bahwa Clock itu Hadley. Itu agak mengherankan. Sedang bagaimana hubungan antara penangkapan terhadap ayah Harry dengan fakta-fakta lainnya, saat ini saya belum tahu. Jika ada kemajuan yang tercapai, Anda akan kami beri kabar.” Ketiga remaja itu meminta diri. Mereka diantarkan oleh Worthington kembali ke Rocky Beach, ke perusahaan jual-beli barang-barang bekas yang diusahakan Paman Titus. Mereka turun di depan pintu gerbang. Ketiganya berjalan sambil berpikir-pikir, masuk ke tempat penimbunan yang penuh dengan barang-barang bekas. Tahu-tahu seorang laki-laki muncul dari balik tumpukan kayu. “He! Kalian bertiga tentunya masih ingat padaku, kan?" katanya. Mereka memang masih ingat. Orang itu Mr. Jeeters, yang baru sejam sebelumnya mereka lihat di rumah Mr. Hadley yang ditinggali keluarga Smith. “Pada kalian ada sebuah weker,” sergah Mr .Jeeters. “Dalam tas yang kaujinjing itu. Weker itu kepunyaanku.” Secara tak disangka-sangka orang itu beraksi dengan cepat, merampas tas yang dijinjing Jupiter. “Sekarang jadi milikku,” kata orang itu. “Karena ada di tanganku! Siapa yang memegang, dialah pemiliknya.” “Seenaknya saja!" teriak Pete. Ia meloncat menyambar kaki Mr. Jeeters. Bob dan Jupiter langsung ikut membantu. Jupiter mencengkeram lengan laki-laki itu, sementara Bob berusaha menarik tas yang dicengkeram olehnya. Tapi Mr. Jeeters ternyata kuat sekali. Bob dan Jupiter ditepiskannya seperti mengusir lalat saja. Lalu dicengkeramnya bagian punggung kemeja Pete yang masih memegang kakinya. Remaja bertubuh kekar itu diangkatnya dan dilemparkannya ke samping. Pete terbanting ke tanah berdebu. “Coba saja sekali lagi, kalau ingin mengalami cedera!” katanya mengejek. Ia kaget sekali ketika tahu-tahu ada yang mencengkeram bahunya dari belakang. Hans, satu dad kedua pemuda Jerman pembantu Paman Titus, datang menolong Trio Detektif. “Kembalikan tas Jupe padanya, Mister,” kata Hans. “Lepaskan!” bentak Mr. Jeeters sambil mengayunkan tinju ke dagu Hans. Hans mengelak. Kedua laki-laki ini kemudian bergulat. Pete melihat tas yang terlepas dan pegangan Mr. Jeeters. Ia cepat-cepat maju untuk mengambilnya, lalu buru-buru mundur ke tempat yang aman. Sementara Hans dan Mr. Jeeters masih terus bergumul, saling berusaha menjatuhkan lawannya. Kemudian Hans berhasil memegang tubuh Mr. Jeeters. Orang itu diangkatnya tinggi-tinggi, seperti mengangkat anak yang sedang mengamuk saja. “Apa yang harus kulakukan sekarang, Jupe?” tanya Hans dengan tenang. “Kupegang terus orang ini sementara kau memanggil polisi?” “Kurasa itu tidak perlu.” jawab Jupiter setelah berpikir dengan cepat. Kalau dilaporkan pada polisi, ada kemungkinan mereka nanti tidak memberikan tanggapan serius. Maklumlah, itu kan cuma soal pencurian weker murah saja. Tapi jika polisi menanggapi dengan serius, besar kemungkinannya weker akan ditahan sebagai barang bukti. Padahal Jupiter sendiri memerlukannya, karena kini semakin besar tekadnya hendak mengusut misteri yang menyelubunginya. “Kaulepaskan saja orang itu,’ katanya pada Hans. “Pokoknya weker sudah kita dapatkan kembali.” “Oke,” kata Hans dengan segan. Mr. Jeeters dilepaskannya dengan begitu saja, sehingga jatuh tersungkur ke tanah. Orang itu berdiri sambil membersihkan pakaiannya yang kotor kena debu. “Baiklah,” katanya menggerutu. “Akan menyesal kalian nanti!” Sambil mengucapkan kata-kata yang mengandung ancaman itu, ia meninggalkan tempat itu. Bab 8 Siapakah yang Bernama Rex? “Rapat dibuka,” kata Jupiter Jones sambil mengetuk-ngetuk meja. Seketika itu juga ketiga remaja lainnya yang juga ada dalam ruang markas yang sempit itu berhenti bercakap-cakap. Saat itu satu hari setelah kejadian usaha perampasan jam weker oleh Mr. Jeeters. Kini para remaja itu mengadakan rapat, untuk melihat kemajuan apa saja yang tercapai sementara itu. Itu pun kalau ada yang dicapai! Paginya Jupiter menelepon Harry Smith di rumahnya. Pemuda itu baru saja memperoleh SIM beberapa waktu yang lalu. Karenanya ia datang mengendarai mobil tua milik ayahnya. “Sampaikan laporanmu dulu, Bob,” kata Jupiter. Di antara mereka berempat Bob yang paling sibuk selama itu. Paginya ia ikut ke Los Angeles dengan ayahnya, yang bekerja sebagai penulis untuk suatu surat kabar beroplag besar di kota itu. Ayahnya memperkenalkan Bob pada orang yang mengelola ruang tempat penyimpanan data. Dalam ruangan luas itu terdapat beratus-ratus lemari khusus berisi guntingan koran yang disusun berdasarkan pokok persoalan serta nama orang yang terlibat di dalamnya. Tugas Bob pertama-tama mencari semua informasi yang bisa diperoleh mengenai ayah Harry, Ralph Smith, mengenai persidangan perkaranya, lalu mengenai diri A. Clock atau Mr. Hadley, dan setelah itu mengenai pencurian lukisan-lukisan berharga pada umumnya. Bob membawa seberkas catatan. Banyak informasi yang disampaikan olehnya, tapi ia melakukannya seringkas mungkin. Mengenai jalannya persidangan pengadilan terhadap Ralph Smith, tidak banyak informasi baru. Bukti-bukti yang diajukan semua bersifat tidak langsung, tapi cukup kuat untuk meyakinkan polisi tentang kesalahan orang yang mereka tahan. Polisi berusaha mendesak Ralph Smith, agar mengaku bahwa ialah pencuri benda-benda seni yang selama sepuluh tahun terakhir beraksi di daerah sekitar Hollywood dan Los Angeles. Tapi ayah Harry berkeras menyatakan bahwa ia tidak bersalah. “Beberapa kasus pencurian itu kan terjadi ketika kalian masih bertempat tinggal di San Francisco, Harry?" tanya Bob. “Ya, betul — baru enam tahun yang lalu kami pindah ke Hollywood,” jawab Harry. “Jadi ternyata ayahku tidak mungkin bersalah. Mustahil ia bisa terlibat dalam kasus-kasus pencurian yang lebih dulu terjadi." “Memang tidak mungkin, jika semuanya merupakan hasil kerja komplotan yang itu-itu juga,” sela Jupiter. “Coba kauceritakan sekarang mengenai rangkaian pencurian benda-benda seni di kota ini, Bob.” Menurut keterangan yang berhasil dikumpulkan oleh Bob, selama sepuluh tahun terakhir paling sedikit telah terjadi sekitar selusin aksi pencurian lukisan berharga. Jadi pukul rata sekali setahun. Seperti dikatakan oleh Mr. Hitchcock banyak aktor, produser, dan sutradara kaya di Hollywood yang gemar mengumpulkan benda-benda seni dan menyimpan lukisan-lukisan yang sangat tinggi nilainya di rumah mereka. Lukisan-lukisan itu dengan sendirinya tidak dijaga seketat penjagaan benda-benda seni di museum. Dalam kasus-kasus pencurian yang terjadi, para pencuri masuk ke rumah lewat jendela atau dengan jalan mencongkel kunci pintu, merobek lukisan dari bingkainya, lalu menghilang tanpa meninggalkan jejak sama sekali. “Polisi menduga bahwa lukisan-lukisan yang dicuri itu kemudian dijual pada hartawan-hartawan penggemar seni di Amerika Selatan yang akan menyimpan lukisan-lukisan itu untuk dinikmati sendiri.” kata Bob. "Lukisan-lukisan bernilai tinggi sangat terkenal di kalangan kesenian, dan karena itu tidak mungkin bisa dijual secara terang-terangan melainkan harus ditawarkan pada orang-orang tertentu saja yang tidak akan pernah memamerkan pada umum.” “Lukisan-lukisan yang lenyap itu kemudian tidak ada yang berhasil ditemukan kembali?" tanya Jupiter. “Tidak ada — kecuali tiga yang ditemukan dalam rumah Harry,” jawab Bob. Ia meneruskan laporannya dengan kasus pencurian terbesar yang terjadi dua tahun sebelum itu. Sejumlah besar lukisan langka dipinjamkan pada suatu balai seni yang hendak mengadakan pameran khusus. Tapi sebelum pameran sempat dilangsungkan, komplotan pencuri berhasil masuk dan mencuri lima lukisan yang nilai keseluruhannya setengah juta dollar. "Tapi itu belum merupakan rekor,” kata Bob menambahkan. “Belum lama berselang ada pencuri yang memotong daun pintu sebuah museum di lnggris, lalu mencuri delapan lukisan dengan nilai keseluruhan ditaksir antara empat sampai delapan juta dollar. Lukisan-lukisan itu kemudian bisa ditemukan kembali. Tapi selama ini itulah pencurian yang merupakan rekor disegi nilai barangnya” "Wow!” seru Pete kagum. "Itu kan uang yang banyak sekali untuk lukisan." “Memang,” kata Bob sependapat “Nah — pokoknya di kota ini banyak terjadi pencurian benda-benda seni berharga. Dan semuanya berlangsung dengan begitu mulus, sehingga setiap kali polisi kembali menghadapi teka-teki. Rupanya kini timbul dugaan bahwa ayah Harry ikut terlibat dalam kebanyakan kasus pencurian itu. Padahal kecurigaan takkan terarah padanya, jika ia tidak diketahui datang ke rumah itu beberapa hari sebelumnya, untuk menawarkan jasa asuransi jiwa. Jadi -" "Nanti dulu!” Harry langsung memotong dengan marah. “Sudah kukatakan dari semula, ayahku sama sekali tidak bersalah. Jika kau hendak mengatakan bahwa hanya karena ia agen asuransi yang sering mendatangi tempat-tempat kediaman orang kaya -". “Tenang sajalah, Harry,” kata Jupiter menyabarkan. “Kami tidak mengatakan ayahmu yang melakukannya. Persoalan bagaimana lukisan-lukisan itu bisa sampai ada di bawah alas lantai dapur kalian, merupakan satu misteri lagi. Rasanya banyak misteri yang perlu kita selidiki Yang pertama, siapa yang mencuri lukisan-lukisan itu? Kedua, bagaimana lukisan-lukisan itu bisa sampai di tempat di mana barang-barang itu kemudian ditemukan? Ketiga, apa yang menyebabkan Mr. Hadley yang mungkin nama sebenarnya Mr. Clock kemudian pergi lalu menghilang sampai sekarang? Dan misteri keempat, dari mana datangnya weker ini, ada apa makna sebenarnya yang terkandung padanya?” Sambil bicara Jupiter menyentuh jam weker yang ada di depannya, di atas meja. “Jam ini jelas mempunyai arti tertentu,” sambungnya. “Mr. Jeeters kemarin kelihatannya ingin sekali merampasnya dari tangan kita. Itu bukti bahwa barang ini penting sekali maknanya." “Aku yang bersalah, karena dari aku orang itu tahu tentang kalian serta weker itu,” kata Harry meminta maaf. “Tapi ketika kalian sudah pergi, ia lantas mendesakku dengan berbagai pertanyaan sambil — yah, ia menakut-nakuti ibuku. Jadi akhirnya aku terpaksa mengaku bahwa kalian datang untuk bertanya mengenal salah satu jam kepunyaan Mr. Hadley yang kalian temukan. Keteranganku itu menyebabkan ia langsung bertindak. Kartu nama kalian yang kupegang dirampas olehnya, lalu ia bergegas-gegas pergi.” “Untungnya kemudian Hans datang untuk menolong kami,” kata Jupiter. “Aku ingin tahu, Harry - menurutmu, apakah ada tingkah laku Mr. Jeeters yang mencurigakan selama ia tinggal di tempat kalian?” “Malam hari ia sering mondar-mandir dalam rumah!” cetus Harry dengan cepat. "Menurut katanya, ia pengarang dan sering tidak bisa tidur. Suatu malam kudengar ia mengetuk-ngetuk dinding, seolah-olah sedang mencari sesuatu.” “Hmm.” Jupiter merenung sambil mencubit bibir bawahnya. “Aku punya dugaan tertentu. Tapi mungkin saja keliru. Kita kembali saja pada persoalan sebenamya. Aku tidak melihat kemungkinan bahwa kita bisa membongkar teka-teki pencurian lukisan-lukisan itu, apabila polisi saja sudah tidak mampu. Tapi bagi kita masib ada misteri weker ini, yang juga perlu diusut asal-usulnya. Itu saja yang sekarang kita lakukan.” “Apa gunanya itu bagi ayahku." bantah Harry dengan keras. "Ia merana di penjara, tapi kalian malah sibuk mengusut weker rongsokan!" "Kita harus mempunyai pangkal tolak untuk melakukan penyelidikan,” kata Jupiter menjelaskan. “Saat ini ada beberapa misteri yang kita hadapi, dan kurasa weker ini, entah dalam bentuk mana, merupakan salah satu mata rantai penghubung di antaranya.” “Baiklah kalau begitu,” kata Harry setengah menggerutu. “Tapi bagaimana kalian bisa mengusut asal-usulnya, jika ditemukan tercampak di tengah tumpukan sampah.” "Pada kita ada kertas dengan pesan tertentu, yang semula direkatkan pada dasarnya.” kata Jupiter. Ia membuka sebuah laci meja. Laci itu merupakan tempat penyimpanan rahasia untuk mengamankan benda-benda penting berukuran kecil. Diambilnya kertas yang ditemukan di kotak kardus tempat weker semula ditaruh, lalu dibacakannya kalimat-kalimat pesan aneh yang tertulis di situ, Rex yang baik. Tanya Imogene. Tanya Gerald. Tanya Martha Setelah itu bertindak! Bahkan kau pun akan heran melihat hasilnya. “Siapa sih orang-orang itu?” kata Pete bingung. “Bagaimana kita bisa menemukan mereka — dan kalau bisa kita temukan, lalu apa yang akan harus kita tanyakan pada mereka?” “Jangan semuanya sekaligus dong,” kata Jupiter. “Pertama, pesan ini kelihatannya ditujukan pada Rex. Dan situ aku mendapat kesimpulan bahwa weker dengan pesan ini tentunya dikirimkan pada Rex ini. Jadi kita harus mencari Rex.” “Seperti ditanyakan Pete tadi — bagaimana caranya?" sela Bob. “Kita harus berpikir secara logis,” kata Jupiter. “Rex ini mestinya teman Mr. Clock — atau Mr. Hadley. Untuk gampangnya kita pakai saja satu nama, yaitu Mr. Clock. Pokoknya, Rex ini pasti temannya. 0, ya — Harry, kau bawa tidak buku alamat Mr. Clock?” “Sudah kucari, tapi tidak kutemukan,” kata Harry yang kelihatannya mulai tertarik. “Yang ada daftar nama orang-orang yang biasa dikirimi kartu Natal. Aku menemukannya terselip di bagian belakang salah satu laci.” Pemuda itu mengeluarkan selembar kertas terlipat. Jupiter meratakan kertas itu. “Bagus,” katanya. “Nama teman-temannya pasti tertera di sini. Sekarang kita lihat saja, apakah Rex juga ada di antaranya.” Keempat remaja itu sibuk meneliti daftar yang berisi sekitar seratus nama yang diketik rapi, lengkap dengan catatan alamat. “Kulihat ada satu Imogene, dua Gerald — sedang Martha ada tiga,” kata Bob. “Tapi Rex tidak ada.” "Betul — tidak ada nama Rex pada daftar ini,” kata Jupiter. "Tunggu, tunggu dulu!” seru Bob dengan tiba-tiba. “Nih — lihat! Di sini ada nama Walter King!” “Memangnya kenapa?” tanya Pete. “King—jadi 'raja' —bahasa Latinnya rex,” kata Bob menjelaskan. “Mungkin saja Rex itu julukan bagi seseorang yang bernama King.” “Kalau menurutku, King itu nama anjing,” gumam Jupiter. Tapi tidak ada yang menanggapi. Jupiter mencatat nama Walter King serta alamat yang tertera di belakangnya pada selembar kartu. “Deduksimu bagus sekali, Bob,” katanya. “Ini satu-satunya petunjuk yang ada, jadi kita perlu mengusutnya lebih lanjut nanti. Sekarang kita lihat, bagaimana dengan Imogene, Gerald, dan Martha. Ini ada Miss Imogene Taylor. Tempat tinggalnya di North Hollywood. Gerald ada dua, kedua-duanya dekat Pasadena. Lalu Martha ada tiga, dengan tempat tinggal terpencar. Kita berempat. Jadi kurasa sebaiknya kita berbagi tugas dalam dua regu. Bob — kau seregu dengan Harry, karena dia membawa mobil. Aku seregu dengan Pete. Akan kutelepon Mr. Gelbert untuk minta disediakan Rolls-Royce kita.” Orang yang disebut namanya itu manajer perusahaan Rent-n-Ride Auto Agency pemilik Rolls-Royce yang disupiri oleh Worthington. “Kita hubungi orang-orang ini untuk melihat petunjuk apa yang bisa kita peroleh dari mereka, lalu setelah itu kita berkumpul lagi di sini. Bob, Mr. King, dan Miss Imogene merupakan bagianmu karena tempat tinggal mereka searah bagimu. Sedang aku bersama Pete mendatangi yang lain-lainnya.” “Lalu apa yang harus kutanyakan pada mereka?" tanya Bob. “Tanyakan pada Mr. King, apakah Mr. Clock mengirimkan weker ini padanya. Begitu pula apakah ia mengetahui ada kertas berisi pesan direkatkan ke dasarnya. Kalau ia mengatakan tahu, apa yang kemudian dilakukan olehnya,” kata Jupiter memberi instruksi. “Jangan lupa tanyakan kenapa kemudian dibuang. Sebaiknya kaubawa weker in untuk ditunjukkan padanya — apabila ia ternyata sudah lupa.” “Oke," kata Bob. “Lalu pada Miss Imogene, apa yang harus kukatakan padanya?” "Bisa saja kautanyakan apakah Mr. Clock meninggalkan pesan tertentu,’ kata Jupiter. "Mungkin kau nanti juga perlu menunjukkan weker padanya. untuk meyakinkan dirinya bahwa kau berhak mengetahui pesan itu.” “Baiklah. Tapi bagaimana jika kalian nanti juga memerlukan weker ini, untuk diperlihatkan pada Gerald dan Martha?" “Aku akan membawa jam yang bentuknya mirip dengan ini,” kata Jupiter. “Kurasa kami nanti hanya perlu menyebutkannya saja, tanpa harus memperlihatkan. Walau begitu untuk berjaga-jaga, di tempat ini pasti ada beberapa weker tua yang mirip. Jupiter melihat bahwa teman-temannya telah mengerti. “Jadi semua sudah beres?” katanya lagi. “Kalau begitu kurasa kita berangkat saja sekarang. Bob — kau sudah bisa berangkat dengan Harry. Aku dan Pete masih harus menunggu Worthington datang dulu.” "Nanti dulu!” kata Pete dengan tiba-tiba. “Jupe — kau melupakan sesuatu yang sangat penting. Kita belum bisa berangkat sekarang.” Jupiter terkejap karena heran. “Kenapa belum bisa?” “Karena,” kata Pete dengan tampang serius, “sekarang sudah saatnya kita makan siang.” Bab 9 Lagi-lagi Misteri “Kurasa kita sudah hampir sampai,” kata Bob sambil meneliti nomor-nomor rumah, sementara Harry mengemudikan mobil tua milik ayahnya menyusuri suatu daerah apik di bagian utara kota Hollywood “Ya betul! Itu dia nomor rumah Mr. King.” Harry memarkir mobil di pinggir jalan. “Tinggal di sini pasti mahal,” kata Harry, sementara mereka berdua menyusuri jalan batu yang melengkung menuju ke rumah yang hendak didatangi. Bob mengangguk. Ia menjinjing tas yang berisi weker yang bisa menjerit. Dalam hati ia bertanya-tanya, mungkinkah barang itu benar-benar berasal dan rumah yang saat itu ditekan belnya. Pintu terbuka. Seorang wanita menatap mereka dari dalam rumah. Orangnya sudah agak tua dan nampaknya banyak pikiran. “Ya, ada apa?" tanya wanita itu. “Jika kalian ini hendak mengumpulkan sumbangan untuk pramuka, aku sudah memberikan sumbangan.” “Kami datang bukan untuk itu, Ma'am,” kata Bob dengan sopan. “Kalau bisa, kami ingin bertemu sebentar dengan Mr. King.” "Tidak bisa. Ia sedang sakit. Selama beberapa bulan harus berbaring di rumah sakit” "Wah — maaf, kami tidak tahu,” kata Bob. Ia berpikir dengan cepat. Jika Mr. King selama itu di rumah sakit, tidak mungkin dia yang membuang weker ke tempat sampah. Tapi Bob tahu, Jupiter pasti takkan langsung mundur tanpa berusaha lebih lanjut. Karenanya Bob lantas memutuskan untuk bertanya lagi. “Mr. King itu — nama julukannya Rex, Ma'am?” Wanita itu menatap remaja yang berdiri di depannya. Ia memperoleh kesan bahwa Bob pasti anak baik-baik. Apalagi sikapnya sopan. Coba kalau tidak — pasti pintu sudah dibanting di depan hidungnya. “Ya, memang begitulah julukannya,” kata wanita itu kemudian. “Kenapa kau menanyakannya? Jika ini suatu keisengan —“ “Tidak, tidak — sama sekali tidak,” kata Bob cepat-cepat “Kami ini sedang menyelidiki sebuah jam, Mrs. King. Sebentar, nanti saya perlihatkan barangnya.” Dibukanya tas yang dijinjingnya dan ditunjukkannya weker yang ada di dalamnya. "Pernahkah Anda melihat weker ini?” Bibir Mrs. King menipis. “Jam itu lagi!” tukasnya marah. “Barang begitu dikirimkan pada suamiku! Apalagi ia sedang sakit. Jika ia sampai mendengar bunyinya pasti keadaannya akan bertambah parah. Habis, teriakan itu begitu menyeramkan!” Bob dan Hariy berpandang-pandangan sejenak. Temyata mereka tidak keliru alamat. “Kalau begitu Mr. Clock yang mengirimkannya pada Mr. King?" desak Bob. “Bert Clock itu benar-benar keterlaluan, mengirimkan barang begitu pada suamiku!" tukas Mrs. King. “Hanya karena mereka pernah bekerja sama beberapa tahun yang lewat, sewaktu suamiku mengarang naskah sandiwara misteri untuk radio. Tanpa menduga apa-apa, aku menancapkan stekernya ke sambungan listrik. Tahu-tahu terdengar jeritan seram itu! Jantungku, nyaris copot karenanya. Aku langsung melemparkannya ke tempat sampah. Kenapa sekarang tahu-tahu bisa ada pada kalian?" “Tukang sampah menjualnya pada salah seorang kawanku,” jawab Bob. “Anda melihat tidak, pesan yang direkatkan pada dasamya?" “Pesan?” Wanita itu mengerutkan kening. “Aku sama sekali tidak melihat pesan apa-apa. Aku memang langsung membuang barang itu keesokan harinya. Memang ada surat pendek dan Bert Clock yang menyertai, tapi surat itu juga kubuang.” “Mungkinkah Anda masih bisa mengingat isi surat itu?” tanya Bob. “Soalnya penting sekali!” “Apa isinya? Anu — Bert Clock menulis, jika suamiku mau mendengar dan memperhatikan weker yang dikirimkannya, maka nasibnya yang buruk akan bisa berubah. Menurutku, itu omong kosong saja! Aku jengkel pada Bert Clock, kenapa sampai hati berbuat iseng terhadap suamiku yang di samping sedang sakit, juga pusing memikirkan utang-utang yang belum dilunasi sampai sekarang, karena ia menganggur terus sampai sekarang. Padahal mereka dulunya bersahabat karib. Aku tidak mengerti apa sebabnya Bert Clock berbuat begitu, menakut-nakuti kami dengan salah satu jeritannya yang menyeramkan.” Mrs. King mengerutkan keningnya lagi. "Kenapa kalian menanyakan segala hal ini?” tanyanya dengan nada curiga. “Apa sebabnya weker itu menarik bagi kalian?" “Kami berusaha mengumpulkan segala keterangan yang bisa didapat mengenainya,” kata Bob menjelaskan. “Soalnya, Mr. Clock beberapa waktu yang lalu —yah, kita katakan saja tahu-tahu lenyap, dan menurut kami weker ini mungkin merupakan semacam petunjuk. Anda tidak memperhatikan dari mana weker ini dikirimkan, Mrs. King?” “Tidak, itu sama sekali tak kuperhatikan. Aneh! Katamu, Bert Clock menghilang. Apa sebabnya -" Saat itu terdengar bunyi dering telepon di dalam rumah “Maaf, ada telepon! Yah — hanya keterangan itu saja yang bisa kuberikan. Selamat siang.” Pintu ditutup lagi olehnya. Bob memandang ke arah Harry yang selama itu berdiri di sampingnya. “Nah begitulah jalannya pengusutan. Harry." katanya. “Lumayan juga banyaknya keterangan yang berhasil kita kumpulkan tadi. Aku tidak tahu apakah semua ada artinya — tapi tanpa dijelaskan oleh Jupe pun aku bisa mengatakan bahwa Mr. Clock mengirimkan weker ini pada Mr. King dengan alasan tertentu, walau ternyata bahwa Mr. King tidak sampai menerimanya karena sedang sakit dan tidak ada di sini. Mrs. King yang menerima mengira Mr. Clock hendak berbuat iseng terhadap suaminya dan karena itu lantas membuangnya ke tempat sampah. Mr. King mungkin tahu makna weker ini. Tapi kita tidak bisa menjumpainya saat ini. Jadi kita terpaksa mereka-reka sendiri jawabannya.” “Waduh!” kata Harry yang sementara itu semakin tertarik “Sekarang kita coba mendatangi Miss Imogene Taylor. Aku ingin tahu, keterangan apa saja yang bisa kita peroleh dan wanita itu!” Temyata tidak banyak Miss Taylor itu wanita bertubuh kecil dan kelihatannya tidak bisa diam. Ia bertempat tinggal di sebuah rumah mungil di daerah Woodland Hills, beberapa mil di luar North Hollywood. Rumah itu letaknya nyaris tersembunyi di balik semak dan pohon-pohon pisang. Miss Taylor sudah beruban rambutnya. Dengan suaranya yang seperti kicauan burung serta kaca mata model kunonya yang berbingkai emas, Ia menimbulkan kesan seolah-olah merupakan tokoh dongeng. Bob dan Harry diajaknya masuk ke ruang duduk yang penuh dengan koran, majalah, serta bantal-bantal hias yang macam-macam bentuknya. Ruangan itu kelihatannya acak-acakan, sehingga bisa diperkirakan bahwa kalau ada sesuatu yang dicari di situ pasti takkan bisa ditemukan. Tapi begitu mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Bob mengenai Mr. Clock serta pesannya, wanita yang sudah berumur itu menaikkan kaca matanya ke kening lalu mencari-cari di meja tulisnya, sementara mulutnya tidak henti-hentinya menyerocos dengan kalimat pendek-pendek yang diucapkan dengan diselingi tarikan napas. “My goodness!” ucapnya. “Ternyata ada juga yang datang. Kusangka pesan itu cuma untuk iseng saja. Lelucon Bert Clock. Di studio dulu ia paling suka iseng. Di studio radio, maksudku. Waktu itu kami semua ikut dalam acara-acara radio. Sejak itu aku kehilangan kontak dengannya. Sampai suratnya datang. Disertai selembar kertas berisi pesan. Suratnya mengatakan aku harus menyerahkan pesan itu pada orang yang datang menanyakan— apalagi jika menyebut-nyebut soal weker. Aduh — di mana lagi kutaruh kaca mataku tadi? Tanpa itu aku tidak bisa melihat” Bob memberitahukan bahwa kaca mata itu ada di keningnya. Dengan cepat Miss Taylor menurunkannya ke batang hidung, sementara tangannya merogoh ke dalam sebuah tempat sempit untuk mengambil secarik kertas yang ada di situ. “Ini dia!” katanya. Aku masih ingat bahwa aku menyimpannya di salah satu tempat. Temyata di sini kutaruh waktu itu. Kalau pun ini salah satu keisengan Bert lagi, aku mau saja meneruskannya karena kami dulu bersahabat karib. Tapi kalian masih begini muda! Tak mungkin pernah mendengar Bert beraksi di radio.” “Betul,” kata Bob membenarkan. “Kami belum pernah berjumpa dengan dia. Tapi saat ini kami sedang mengusut yang Anda sebut keisengannya ini, dengan maksud hendak mengetahui maknanya. Terima kasih atas bantuan Anda, Miss Taylor” “Ah, cuma begitu saja pakai terima kasih. Kalau kalian beijumpa dengan Bert, tolong sampaikan salamku padanya, ya. Wah, dia itu benar-benar penjerit jempolan! Orang dulu biasa sengaja menunggu siaran sandiwara karni. Judulnya, 'Jeritan Tengah Malam'. Ceritanya menyeramkan. Karangan Rex King. Rex jago kalau disuruh mengarang teka-teki, mengatur indikasi, misteri, dan sebangsanya. Ya, ya! Kalian mau minum teh? Tidak? Aku mengerti, kalau kalian harus cepat-cepat pergi lagi. Anak laki-laki memang biasa bergegas-gegas. Begitulah anak laki-laki.” Bob dan Harry menghembuskan napas panjang ketika sudah kembali berada dalam mobil. "Huuuh," desah Hariy sambil nyengir. “Kusangka ia takkan pemah berhenti mengoceh. Tapi pokoknya kita berhasil menemukan pesan itu. Kita lihat saja bagaimana bunyinya.” Bob mengacungkan sampul surat. Sampul itu belum dibuka. “Sebetulnya kita harus menunggu Jupe dulu,” katanya. “Tapi — yah, kurasa kita bisa saja melihatnya sekarang.” Bob membuka sampul itu lalu mengeluarkan secarik kertas dari dalamnya, sementara Harry memperhatikan dengan sikap tidak sabar. Sesaat kemudian air muka kedua remaja itu berubah. Kelihatannya bingung setelah membaca pesan yang tertulis di kertas. It’s quiet there even in a hurricane. Just a word of advice, politely given. Old English bowmen loved it. Bigger than a raindrop; smaller than an ocean. I'm 26. How old are you? It sits on a shelf like a well-fed elf Bob dan Harry menatap kertas berisi pesan itu dengan perasaan kecut. Mereka bingung menghadapi urut-urutan kalimat yang bunyinya begini, Saat badai pun di situ tenang. Hanya sepotong nasihat dengan sopan Pemanah Inggris kuno menyukainya. Lebih besar dari tetesan hujan lebih kecil ketimbang samudra. Aku 26. Berapa umurmu? Duduk di papan rak bagaikan peri montok. “Ampun?” keluh Harry. “Apa lagi arti kata-kata itu?” Bab 10 Terlibat dalam Kesulitan Di daftar nama orang-orang yang dikirimi kartu ucapan selamat Natal yang ditemukan di tempat kediaman Mr. Clock ada tiga wanita bernama Martha. Ketiga-tiganya tinggal di daerah yang mengarah ke Pasadena. Dua alamat didatangi oleh Jupiter dan Pete, barulah ditemukan Martha yang dicari. Mrs. Martha Harris, seorang janda bertubuh germuk. Ia dulu aktris radio dan televisi. Tapi sekarang sudah pensiun. Mrs. Harris gemar memelihara kucing. Bukan hanya seekor saja, tapi banyak. Semuanya kucing Siam. Binatang-binatang itu berkeliaran dengan bebas dalam kamar, sementara pemilik mereka duduk sambil bercakap-cakap dengan kedua remaja yang mendatanginya. Dua di antaranya — dua ekor kucing, bukan kedua remaja itu — duduk di lengan kursi besar tempat wanita itu duduk. Mrs. Harris berbicara sambil mengelus-elus kedua binatang itu. “0 ya, tentu saja aku kenal dengan Bert Clock!” kata Martha Harris. “Aneh, kalian datang untuk bertanya mengenai dia. Tidak, sebetulnya tidak aneh, karena kurasa ia sudah memperkirakan akan ada orang datang. Kalau bukan begitu, ia takkan mengirimkan sampul itu untuk kuserahkan pada kalian!” “Mr. Clock mengirimkan sampul surat pada Anda, Ma'am?" tanya Jupiter. “Kapan?" “Nanti dulu —“ Mrs. Harris mengingat-ingat sebentar. “Mestinya sekitar dua minggu yang lalu. Dalam surat yang ditujukannya padaku ia mengatakan, ‘Jika ada orang datang menanyakan pesan dariku, serahkan sampul ini dengan teriring berkahku. Semoga ia asyik dengannya.” Mrs. Harris merogoh ke dalam sebuah laci sambil mengusir seekor kucing yang merintangi. Ia mengeluarkan sebuah sampul lalu menyerahkannya pada Jupiter. “Apa sih yang dilakukan Bert Clock sekarang?” tanya wanita itu. “Terakhir aku mendengar tentang dirinya, ia memperoleh harta sedikit lalu pensiun. Tapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Sekarang spesialis menjerit memang sudah jarang diperlukan lagi, sejak siaran radio menurun kepopulerannya.” “Tidak banyak yang kami ketahui tentang dia,” kata Jupiter. “Ia tahu-tahu menghilang, beberapa bulan yang lalu.” “Aneh!" kata Mrs. Harris. “Tapi Bert Clock itu memang dari dulu sudah selalu aneh. Tidak ada yang bisa menebak apa yang sedang dipikirkan olehnya. Kenalannya orang-orang aneh — joki, penjudi, dan macam-macam lagi seperti itu.” "Terima kasih atas kesediaan Anda menyimpankan sampul ini,” kata Jupiter. “Yuk, Pete, kita harus pergi lagi.” Keduanya meninggalkan Mrs. Harris yang dikerumuni kucing-kucing kesayangannya. Mereka kembali ke tempat Worthington menunggu dalam Rolls-Royce. “Sekarang kita lihat bagaimana bunyi pesan itu,” kata Pete tidak sabaran. "Kita masuk dulu,” kata Jupiter sambil membuka pintu mobil. Ketika sudah berada di dalamnya, Jupiter membuka sampul. Di dalamnya ada secarik kertas, mirip dengan yang ditemukan oleh Bob dan Harry. Tapi pesan yang tertera pada kertas yang dipegang Jupiter lebih aneh lagi, karena sama sekali tidak berwujud kalimat-kalimat, melainkan urut-urutan angka belaka yang disusun dalam sekitar sepuluh sampai lima belas baris. Awalnya seperti berikut, 3-27 4-36 5-19 48-12 7-11 15-9 101-2 5-16 45-37 98-98 20-135 84-9 “Astaga!” seru Pete. “Dan segala angka-angka ini ada artinya?" “Rupanya ditulis dalam bentuk sandi,” jawab Jupiter. “Kita akan bisa memahami maksudnya, jika kuncinya sudah kita temukan. Tapi itu nanti saja kita tangani.” Jupiter melipat kertas pesan itu dan mengantunginya. “Sekarang kita mencari Gerald. Dalam daftar penerima kartu Natal ada dua orang bemama Gerald. Yang tinggalnya paling dekat dan sini Gerald Cramer. Kita coba mendatanginya dulu." Mobil berangkat setelah Jupiter menyebutkan alamat yang hendak dituju pada Worthington. Dalam perjalanan Jupiter sibuk berpikir. Ia sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Menurut Pete, kalau pun saat itu sudah ada kemajuan yang tercapai, yang jelas ia sendiri tidak tahu apa-apa. Tapi mungkin saja isi pesan berikut akan lebih banyak memberikan informasi. Mobil Rolls-Royce mereka berhenti di depan sebuah rumah di daerah yang jelas tidak tergolong elit. Pete mengikuti Jupiter yang keluar dari mobil lalu berjalan menghampiri rumah. “Karena dalam daftar ada dua Gerald, kemungkinan kita langsung menjumpai yang benar lima puluh persen banding lima puluh persen,” kata Jupiter sambil menekan bel. "Tapi walau begitu - " “Ya — mau apa?” Seorang laki-laki membukakan pintu. Orangnya kecil. Jupiter saja masih lebih tinggi. Tubuhnya kurus, sedang tungkainya bengkok membentuk huruf 0 . “Maaf — tapi kalau tidak salah, Anda kan kenal dengan Bert Clock” kata Jupiter. Ia bersikap pura-pura tidak menyadari tatapan mata curiga yang diarahkan laki-laki bertubuh kecil itu pada dirinya. "Kenal Bert Clock? Siapa bilang aku kenal Bert Clock?” tukas orang itu. “Itu bohong! Aku sama sekali tidak pernah dengar apa-apa tentang Bert Clock. Aku tidak kenal padanya. Sekarang pergi!” “Jangan buru-buru marah, Gerald sahabatku,” kata seseorang memotong dengan nada suara sopan dan beradab. Dari dalam rumah muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi dan berpotongan necis. Ia berdiri di belakang laki-laki yang disapa dengan sebutan Gerald. Rambut orang itu hitam berkilat. Ia berbicara dengan logat Spanyol. “Apa sebabnya kau bertanya tentang seseorang yang dikenal dengan nama Bert Clock?” tanya laki-laki necis ito pada Pete dan Jupiter. “kurasa kalian kan bukan detektif?” Ia mengatakannya sambil tersenyum. “Kami ini —“ Pete tidak jadi meneruskan kata-kata yang hendak diucapkan karena Jupiter cepat-cepat rnenyenggolnya. “Kami sedang berusaha mencari-cari pesan yang ditinggalkan Mr. Clock pada beberapa temannya,” kata Jupiter pada laki-laki jangkung itu. Ia meninggalkannya dalam beberapa bagian. Satu di antaranya ada seorang temannya yang bernama Gerald. Menurut kami Gerald itu mungkin Gerald Cramer yang tinggal di sini, karena namanya ada dalam daftar teman-teman Mr. Clock yang dikirimi kartu Natal.” “Begitu. Menarik sekali,” kata laki-laki jangkung itu. “Ayo, masuklah sebentar — mungkin aku bisa membantu. Temanku ini yang bernama Gerald Cramer. Aku minta maaf atas kekasarannya tadi. Ia banyak mengalami kesulitan dalam hidupnya.” Pete dan Jupiter mengikuti kedua laki-laki itu masuk ke ruang duduk yang agak berantakan, lalu, duduk di situ. “Aku tidak mengerti urusan ini Carlos,” kata laki-laki yang bertubuh kecil sambil menggerutu. “Tapi pokoknya aku tidak suka!” “Biar aku saja yang menanganinya,” tukas orang yang disebut Carlos. Sambil menoleh ke arah Jupiter ia berkata, "Begini — kami ini bingung dan merasa tidak enak atas lenyapnya Bert Clock serta pesan aneh yang dikirimkannya pada Gerald. Kami ingin sekali mengetahui segalanya yang bisa kaukatakan tentang dirinya. Tahukah kau di mana ia sekarang berada?” “Tidak” jawab Jupiter, “kami cuma berusaha mengusut jejak pesan-pesannya. Soalnya begini. Mula-mula kami secara kebetulan menemukan jam weker aneh yang dikirimkan Mr. Clock pada seseorang. Lalu -" “Weker?” kata Carlos memotong. “Ada barang itu padamu sekarang?” Sambil bertanya matanya menatap tas kecil yang dijinjing Jupiter. Jupiter mengeluarkan weker yang mirip sekali dengan yang asli dan bisa menjerit, lalu memperlihatkannya “Ini tanda pengenal kami,” katanya. Laki-laki jangkung itu mengambil weker itu lalu mengamatinya dengan teliti. “Kelihatannya biasa—biasa saja” katanya. “Sekarang mengenai pesannya. Bagaimana bunyinya?” “Tidak begitu jelas,” kata Jupiter. “Dikatakan agar bertanya pada Martha dan pada Gerald. Tapi tidak disebut apa yang harus ditanyakan pada mereka. Kami sudah berhasil menemukan wanita yang bemama Martha. Ia menerima sepucuk surat dari Mr. Clock beserta sebuah sampul tertutup yang dikatakan harus diserahkan pada orang yang datang menanyakannya. Setelah itu kami kemari. Karena Gerald Cramer merupakan nama selanjutnya yang tertera dalam daftar Natal Mr. Clock Apakah Mr. Cramer ml juga menerima pesan?” “Memang betul,” kata laki-laki yang bernama Carlos. “Tapi Bert agak lain pesannya pada Gerald. Ia menulis, sebelum pesan yang ada padanya diserahkan, ia terlebih dulu harus melihat pesan yang lain. Bolehkah saya melihat pesan yang diserahkan nyonya bernama Martha itu padamu?” “Yah —“ Jupiter agak ragu. Tapi melihat Carlos menyodorkan tangan ia meraih ke dalam kantung lalu mengeluarkan kertas yang hanya berisi angka-angka berderet panjang. Carlos memperhatikan angka-angka itu. Dari air mukanya ketahuan bahwa ia kecewa. “Hanya angka-angka belaka!” katanya. “Kelihatannya ini semacam sandi. Apa maknanya?” “Kami juga tidak mengerti,” jawab Jupiter “Saya mengharapkan akan bisa mengetahuinya dan isi pesan selanjutnya. Pesan yang ditinggalkan pada Gerald.” “Mungkin juga,” kata Carlos sependapat. “Tapi mulai saat ini aku yang akan melanjutkan pengusutan. karena bukan kalian sebenarnya yang berhak atas weker serta pesan-pesan itu. Sekarang serahkan segala pesan lain yang mungkin masih ada padamu, supaya aku bisa menangani urusan ini selanjutnya.” “Kami tidak menyimpan pesan apa-apa lagi,” kata Jupiter. Air mukanya menjadi agak pucat karena dilihatnya sikap Carlos dengan tiba-tiba berubah menjadi mengancam. “Kalau boleh kami minta weker itu kembali, beserta pesan tadi. Weker itu kepunyaan kami dan ini penyelidikan kami —“ “Ringkus mereka, Jerryl” perintah Carlos pada Gerald, “Kita harus menggeledah mereka — siapa tahu masih ada pesan lainnnya lagi pada mereka.” Dengan cepat laki-laki itu melakukan apa yang diperintahkan. Dengan lengannya yang berotot ia memegang tubuh Pete, sehingga remaja itu sedikit pun tidak bisa bergerak lagi. Beberapa mil dan situ, Bob dan Harry juga sedang menghadapi kesulitan. Mereka sudah pergi dan rumah Miss Taylor, dan saat itu sedang berada dalam mobil yang dikemudikan Harry. Maksud mereka hendak kembali ke Rocky Beach. Ketika tinggal satu mil lagi dan Rocky Beach, tapi masih berada di daerah berbukit-bukit yang termasuk pegunungan Santa Monica, Bob melihat ada mobil mengikuti. Mobil itu berwama biru tua dengan atap biru. Sebelum itu ia juga sudah melihatnya, yaitu ketika memasuki jalan itu, yang tidak banyak dilalui kendaraan. Tapi kini mobil yang di belakang itu nampak dengan cepat semakin mendekat. “Harry!” kata Bob dengan sikap tegang “Kurasa kita dibuntuti orang. Mobil itu sejak tadi ada di belakang kita terus. Dan sekarang kelihatannya hendak menyusul.” “0, ya? Kita lihat saja apakah ia bisa!” kata Harry sambil menekan pedal gas. Mobil tua itu melesat maju, mengambil tikungan dengan cepat lalu meluncur seperti peluru di suatu penurunan panjang. Bob menoleh ke belakang. Mobil biru tadi melesat secara gila-gilaan, mengejar dengan cepat. Ketika jarak yang memisahkan tinggal sekitar seratus meter, jalan kendaraan itu agak diperlambat. Hany menekan pedal gas semakin dalam. Mobil tua kepunyaan ayahnya semakin laju jalannya sehingga sudah membahayakan penumpangnya. Tapi mobil biru tadi masih saja bisa menyusul dengan lambat. Harry membelokkan mobil memasuki suatu tikungan dengan begitu cepat, sehingga kendaran itu nyaris saja terjungkir masuk jurang. Untung Harry cukup sigap. Ketika mobil sudah berhasil dikuasai kembali, ia berpaling pada Bob. Mukanya pucat pasi. “Kemampuanku mengemudi tidak memadai untuk berpacu di daerah berbukit-bukit ini,” kata Harry. “Siapa pun orang yang di belakang itu, jelas ia akan bisa mengejar kita.” “Sedikit saja lagi,” kata Bob sambil berdoa dalam hati. “Kalau kita sudah memasuki Rocky Beach, orang itu pasti tidak berani mengejar lagi." “Akan kucoba,” kata Harry. “Kita berjalan di tengah saja — supaya ia tidak bisa menyusul.” Dengan nekat Harry mengendarai mobilnya di bagian tengah jalan yang sempit itu. Mobil biru yang mengejar sudah begitu dekat, sehingga hampir menyentuh bumper belakang. Bob menoleh ke belakang. Dilihatnya orang yang mengendarai mobil itu. Ia merasa seakan-akan pernah melihatnya. Tapi tidak tahu di mana. Mobil yang dikemudikan Harry meluncur terus dengan laju di jalan sunyi itu. Kedua remaja itu sudah cemas sekali. Mereka ingin sudah bisa sampai di bagian yang menurun keluar dari bukit-bukit itu dan memasuki kota. Tapi kemudian Harry terpaksa membanting setir ke kanan karena harus mengelakkan lubang di jalan. Saat itu juga mobil yang ada di belakang maju sampai mendampingi lalu mulai mendesak mereka ke pinggir. “Aku terpaksa berhenti! Kalau tidak, bisa hancur kita nanti!" teriak Hany. Ia menginjak rem. Mobil yang mendesak juga memperlambat kecepatannya. Bob memandang ke samping, berusaha mengenali pengemudi mobil yang mengenakan kaca mata hitam. Ia tidak tahu siapa orang itu — tapi rasanya seperti pernah melihatnya. Harry menghentikan mobil. Kendaraan yang mengejar juga berhenti. Tapi tahu-tahu melesat maju dengan cepat, lalu menghilang di balik tikungan yang ada di depan. “Kenapa jadi begitu?” tanya Hany bingung. Mula-mula ia mengejar kita, tapi sekarang tahu-tahu lari!” Sesaat kemudian ketahuan juga apa yang menyebabkan tindakan aneh itu. Di kejauhan terdengar samar bunyi sirene yang makin lama makin mendekat. Sebuah mobil patroli polisi Rocky Beach berhenti di samping mereka Sirene berhenti berbunyi. Seorang polisi berwajah garang turun, lalu datang menghampiri. “Coba kulihat SIM Anda!” bentaknya pada Harriy. ‘Aku sudah sering mengalami pengemudi yang gila-gilaan, tapi belum pernah kulihat yang berbuat seperti Anda tadi di daerah perbukitan ini. Kalau punya SIM pun, Anda kali ini tidak bisa bebas dari hukuman!" Bab 11 Gerald yang Satu Lagi “Jangan lepaskan!” seru Carlos pada laki-laki bertubuh kecil yang memiting Pete dari belakang. Gerald memang kecil, tapi ternyata kuat. Carlos menyambar pisau pembuka surat yang terletak di atas meja, lalu mengacungkan ujungnya yang runcing ke dada Jupiter. “Jangan bergerak jika masih ingin selamat, Anak muda, dan serahkan semua pesan yang ada padamu!” sergahnya. Jupiter berdiri tanpa berani bergerak. Tapi Pete yang tidak bisa melihat bahwa Carlos menggenggam senjata tajam, tidak mau menyerah dengan begitu saja. Percuma saja ia ikut dalam regu gulat sekolah menengah jika ia tidak menguasai teknik-teknik melepaskan diri dari pitingan lawan. Secepat kilat dibentangkannya kedua lengannya, sambil membungkuk ke depan dengan gerakan mengejut. Gerald terlempar jatuh ke depan, melayang lewat di atas kepala Pete, lalu menubruk Carlos. Laki-laki berpenampilan necis itu jatuh terjerembab, ditindih Gerald. “Cepat, Dua — kita harus lari dari sini!” seru Jupiter. Carlos masih terkapar di lantai. Kelihatannya ia masih belum sepenuhnya menyadari apa yang baru saja terjadi. Tangannya masih mengenggam kertas berisi pesan yang diserahkan Mrs. Martha Harris. Jupiter menyambar kertas itu lalu lari ke pintu. Di situ ia bertubrukan dengan Pete yang juga ingin cepat-cepat lari ke luar. Setelah sibuk sekejap, keduanya lari di trotoar menuju ke mobil. “Weker!” seru Pete saat itu. “Kau lupa membawa weker kita!” “Biar saja— itu kan bukan yang asli,” jawab Jupe ketika mereka sudah masuk ke dalam mobil “Cepat, Worthington, kita harus pergi dari sini!” Mobil Rolls-Royce meninggalkan tempat itu dengan begitu tiba-tiba sehingga Jupiter dan Pete terjungkir jatuh ke lantai. "Pokoknya ini yang penting,” kata Jupiter setelah keduanya berhasil duduk kembali. Ia mengacungkan kertas yang ada dalam genggaman. “Pesan dari Mr. Clock ini berhasil kuambil kembali dari—” Ia tertegun. Kedua remaja itu menatap kertas— yang ternyata robek. Hanya separuhnya saja yang dipegang Jupiter. Sisanya masih ada ditangan Carlos! “Wah, payah!” keluh Pete. “Yang setengahnya lagi robek!” “Kalau begitu kita terpaksa kembali lagi,” kata Jupiter termangu. "Dan berhadapan dengan mereka itu lagi?” kata Pete memprotes. “Betul juga,” kata Jupiter setelah berpikir sebentar. “Sementara itu Carlos pasti sudah menyembunyikan potongan yang ada di tangannya. Sudah jelas ia akan mungkir kalau didesak” “Ke mana kita sekarang, Tuan-tuan muda’ tanya Worthington yang duduk di belakang setir. “Kita kembali saja ke markas?” “Tidak,” jawab Jupiter. “Masih ada satu pesan lagi yang harus kita cari. Gerald Cramer tadi rupanya bukan Gerald yang benar. Sekarang kita coba Gerald Watson.” Ia menyebutkan alamat orang itu pada Worthington "Coba dengar sebentar, Satu,” kata Pete pada Jupiter. “Ada satu hal yang menjadi pikiranku. Laki-laki kecil tadi, Gerald Cramer, temyata tidak mendapat titipan pesan dan Mr. Clock Tapi walau begitu ia dan begitu pula Carlos langsung tertarik begitu mendengar tentang adanya pesan-pesan itu. Kenapa begitu, menurutmu?" “Aku tidak tahu pasti,” jawab Jupiter. “Tapi kuduga mereka tahu sesuatu tentang Mr. Clock yang tidak kita ketahui, serta menilai pesan-pesan itu penting artinya. Sekarang kita harus menyelidiki apa sebabnya begitu. Mungkin pesan-pesan itu sendiri yang akan memberi keterangan, apabila kita sudah berhasil menguraikan makna yang tersembunyi.” "Kalau kita sudah berhasil!" Pete tertawa hambar. “Saat itu kita akan sudah jadi kakek-kakek berjanggut panjang, apabila menilik kerumitannya. Yang ada padamu saja sudah membingungkan! Apalagi kau cuma punya sepotong.” "Itu juga kuketahui, tanpa perlu kaukatakan lagi,” tukas Jupiter. “Pokoknya kita harus berusaha sebisa-bisa kita. lnikah alamatnya, Worthington?” "Kelihatannya begitu,” jawab supir berbangsa Inggris itu sambil menghentikan mobil di pinggir jalan. “Apakah mungkin akan terjadi bahaya lagi kali ini?" “Kurasa tidak,” jawab Jupiter. “Tapi jika nanti ternyata bantuan Anda diperlukan, kami akan berteriak. Yuk, Dua!” Pete mengikutinya berjalan menyusur jalan masuk menuju sebuah rumah mungil bergaya Spanyol yang terletak di tengah kebun. Seorang laki-laki yang sudah berumur sedang sibuk merapikan tanaman mawar di depan rumah. Ia menoleh ketika kedua remaja itu datang menghampiri. “Mr. Gerald Watson?” tanya Jupiter. Laki-laki itu mengangguk. “Betul,” katanya sambil membuka sarung tangan yang dipakal untuk berkebun. “Apa yang bisa kulakukan untuk kalian? Kalian kan tidak bermaksud hendak meminta tanda tanganku?” Orang itu terkekeh. “Sudah lama sekali tidak ada lagi yang datang meminta. Tapi dulu, ketika aku masih membintangi siaran ‘Jeritan di Tengah Malam’ dengan peran detektif, banyak yang memburu-buru. Kurasa kalian pasti belum pernah mendengar siaran itu, ya?” “Memang belum, Sir,” kata Jupiter. “Kata orang kisahnya seram.” “Bukan menyeramkan lagi namanya,” kata Gerald Watson membenarkan. “Pembukaannya selalu jeritan — jeritan Bert Clock — sedang kisah-kisahnya mengenai berbagai misteri yang serba aneh dan seram. Penulis kisahnya Bert dan Rex King. Kurasa kerangkanya datang dari Bert, lalu disusun skenarionya oleh Rex. Ia sangat ahli kalau soal teka-teki, mengarang petunjuk, dan sebangsanya. Tapi itu cerita lama. Kalian kemari ini mau apa sebenarnya. Mudah-mudahan saja bukan mencari langganan untuk majalah!” “Kami datang untuk menanyakan pesan yang dititipkan Mr. Clock pada Anda,” kata Jupiter. “Ia meninggalkan pesan lain yang menyuruh mintakan itu pada Anda." “Ah, pesan itu!” Sikap Mr. Watson yang semula agak ragu langsung berubah. "Ya, ya, tentu saja. Tahu-tahu saja itu datang — sudah sejak bertahun-tahun tidak ada kabar lagi dari Bert Clock kecuali kartu-kartu Natal. Yuk kita masuk — nanti kuambilkan pesan itu.” Ia mendului masuk ke rumah, ke sebuah ruangan rapi. Barang yang paling menonjol di situ sebuah tape recorder besar serta rak yang penuh dengan kaset Mr. Watson mengambil sebuah sampul dari sebuah laci. Sampul itu sudah terbuka. "Ini dia,” katanya. “Aku sudah membukanya. Tak bisa kutahan rasa ingin tahuku. Tapi aku sama sekali tidak bisa menebak maunya.” Jupiter mengeluarkan kertas yang berisi pesan, lalu membacanya bersama Pete (pada versi asli tertulis Jupiter, mungkin salah ketik). Pesan itu itu berbunyi sebagai berikut, Take one lily; kill my friend Eli. Positively number one. Take a broom and swat a bee. What you do with clothes, almost. Not Mother, not Sister, not Brother; but perhaps Father. Hymns? Hams? Homes? Almost not quite. Pete hanya bisa menggaruk-garuk kepala saja, membaca kalimat-kalimat aneh itu yang artinya begini, Ambil satu lily; bunuh kawanku Eli Sudah pasti nomor satu. Ambil satu sapu dan pukul seekor lebah. Apa yang kaulakukan dengan pakaian, hampir. Bukan Ibu, bukan saudara laki atau perempuan, tapi mungkin Bapak. Himne? Ham? Runah tinggal? Hampir, tidak “Asyik ya — pesan itu?” kata Mr. Watson sementara kedua remaja membaca. “Aku sudah mencoba menebak maknanya. tapi tetap saja tidak bisa. Misalnya saja kalimat pertama — aku tidak pernah tahu bahwa Bert punya kawan bernama Eli kalau membaca kalimat itu kelihatannya ia hendak membunuh Eli lalu meletakkan bunga lily di dadanya, kan?" sambungnya. Ia terkekeh. "Berikan pada siapa saja yang datang menanyakan kalau-kalau ada pesan," tulisnya padaku. Kalian datang dan pesan itu kuberikan —jadi urusan itu sekarang beres. Tapi ngomong-ngomong, aku belum tahu kalian ini siapa.” “Wah, maaf — ini tanda pengenal kami.” Jupiter menyodorkan kartu nama Trio Detektif. Mr. Watson membaca keterangan yang tertulis pada kartu itu dengan bersungguh-sungguh, lalu, menyalami Pete dan Jupiter. “Aku senang bisa berkenalan dengan kalian, katanya. “Jika kalian ingin tahu tentang Bert Clock, mungkin kalian mau mendengar beberapa siaran radio kami — yang dimulai dengan suara jeritannya. Siaran-siaran itu benar-benar hebat! Tiap siaran diawali dengan jeritan lain. Belum lagi kisahnya — tidak ada kisah televisi yang bisa menandinginya sekarang. Kotak-kotak kaset yang kalian lihat itu — semuanya berisi siaran yang kubuat bersama Bert Clock” Pete dan Jupiter sebenarnya ingin menerima ajakan itu, karena mereka tahu bahwa di antara acara-acara siaran radio masa lalu, ada beberapa acara yang jauh lebih menyeramkan daripada acara misteri yang mana pun juga dalam televisi sekarang. Tapi sayang waktu untuk itu tidak ada. Karenanya mereka lantas meminta diri. Sambil berjalan menuju mobil yang menunggu di luar, mereka masih saja sibuk memikirkan pesan aneh tadi. Jupiter mengatakan pada Worthington agar mereka diantar kembali Rocky Beach. “Mudab-mudahan jika kita sampai Bob dan Harry sudah ada di sana,” katanya pada Pete. “Jika mereka juga berhasil, semua pesan akan kita teliti untuk menemukan apa makna sebenarnya.” Tapi Bob dan Harry tidak ada di kantor. Tepatnya, tidak ada di kantor Markas Trio Detektif. Saat itu mereka berada di kantor polisi Rocky Beach, disuruh masuk ke kantor Chief Reynold dengan diantar polisi yang menahan Harry dengan tuduhan ngebut. “Kata Chief Reynolds kau dikenalnya,” kata polisi itu pada Bob. “Tapi jangan sangka karena itu kalian bisa bebas. Remaja tukang ngebut seperti kalian ini merupakan bahaya bagi orang banyak!” Chief Reynolds, kepala polisi Rocky Beach yang bertubuh kekar, sedang duduk menghadapi meja kerjanya yang besar dan penuh dengan kertas-kertas. Ia nienoleh ketika kedua remaja itu masuk bersama polisi tadi. “Nab, Bob,” katanya. “sekali ini kedatanganmu tidak menyenangkan. Laporan Officer Zebert ini tadi kedengarannya tidak bisa dianggap enteng. Ngebut di pegunungan di samping membahayakan jiwa kalian berdua, juga bisa mengakibatkan kematian orang lain pula!” “Maaf, Chief,” kata Bob, “tapi kami tadi bukan dengan sengaja mau ngebut. melainkan karena dikejar mobil lain. Kami berhasil dikejarnya ketika petugas ini datang—lalu mobil lain itu cepat-cepat lari." “Dikejar, ya?” Polisi yang bernama Zebert itu tersenyum penuh arti. “Coba Anda sendiri tadi melihat mereka menyikat tikungan demi tikungan, Chief! Lalu mereka berpacu sebelah-menyebelah, menuruni Mountain Road. Kalau saat itu ada mobil lain datang dari depan, pasti semuanya langsung mati.” “Kenapa sampai mobil lain itu mengejar kalian? " tanya Chief Reynolds. “Kan nampak jelas bahwa tak mungkin kalian banyak membawa uang." “Kami sedang mengadakan pengusutan, Sir,” kata Bob. “Kami sedang menyelidiki sebuah weker aneh," “Weker aneh!" tukas petugas polisi yang mendampingi. “Anda pernah mendengar alasan seedan ini, Chief? “Tapi ini benar," kata Bob mengotot. “Kami kan pernah melakukan penyelidikan terhadap Hantu Hijau, Chief. Tentunya Anda masih ingat. Anda bahkan meminta kami — maksud saya Jupiter Jones, Pete Crenshaw, serta saya sendiri — membantu meneliti apa itu sebenarnya.” Misteri yang diingatkannya pada kepala polisi itu pemah menyebabkan Chief Reynolds mengaku terus terang bahwa ia benar-benar bingung karenanya. Dan Chief Reynolds mengangguk “Memang betul begitu,” katanya. “Sekarang mana weker itu — dan apa yang menyebabkan kau menyebutnya aneh?” “Tadi kami tinggalkan dalam mobil,” kata Bob. “Kalau kami boleh mengambilnya sebentar, nanti kami tunjukkan mengapa kami mengatakan jam itu anehl” “Baiklah,” kata Chief Reynolds. “Zebert! Tolong ambilkan barang itu dan bawa kemari!” “Ada di dalam tas di bangku depan,” kata Bob pada petugas polisi yang dengan segera keluar. “Kau tahu bahwa aku mau mempercayai keteranganmu, Bob,” kata Chief Reynolds sementara mereka menunggu Officer Zebert kembali, “Tapi akhir-akhir ini kami dipusingkan para remaja yang gemar ngebut, sehingga kami harus mengambil tindakan keras — nah, itu Officer Zebert sudah kembali. Mana wekernya, Zebert?” Petugas polisi itu menggelengkan kepalanya. “Tidak saya temukan, Chief,” katanya. “Di bangku depan tidak ada tas. Tidak ada jam. Sama sekali tidak ada apa-apa di situ!” Bob dan Harry saling berpandang-pandangan dengan perasaan kecut. “Aduh!” seru Bob, “weker kita dicuri orang!” Bab 12 Pertanyaan... Tanpa Jawaban “Kenapa Bob dan Harry belum muncul-muncul juga, ya?” kata Pete pada Jupiter yang saat itu sedang duduk menghadapi mejanya di Markas Trio Detektif. Penyelidik Pertama itu sedang meneliti pesan Mr. Clock yang dititipkan pada Mr. Watson. Karena ia diam saja, Pete menyambung, "Kulihat sebentar ke luar, mungkin sementara ini mereka datang.” Ia pergi ke pojok ruangan, di mana terdapat sepotong pipa tungku yang langsung menjulur ke bawah dari atap. Oleh Jupiter pipa itu disulap menjadi periskop yang diberinya nama ‘Serbalihat’, Trailer yang dijadikan Markas Trio Detektif dikelilingi timbunan barang bekas yang bertumpuk-tumpuk sampai setinggi atap. Karenanya diperlukan periskop untuk bisa melihat ke sekeliling. Pete mengintip sebentar ke luar lewat alat peneropong itu. “Nah, itu mobil Harry datang,” katanya. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi ketukan pada tingkap yang merupakan ujung Lorong Dua. Pete membukakannya. Bob dan Harry muncul dan bawah, masuk ke ruangan kantor. Keduanya nampak agak capek. “Kalian berhasil memperoleh pesan itu?” tanya Jupiter. “Kalau memperolehnya memang berhasil,” jawab Bob. “Tapi kalau soal mengerti maksudnya, itu soal lain!” “Coba kulihat sebentar,” kata Jupiter. “Dan mana weker kita?” “Tidak ada lagi.” Tampang Bob nampak tidak enak. Jupiter menatapnya dengan tajam. “Kenapa sampai bisa hilang?” “Dicuri orang!” kata Harry dengan cepat. “Dan dalam mobil, sewaktu diparkir di kantor polisi.” “Apa yang kalian lakukan di situ?” tanya Pete heran. “Kami ditahan karena ngebut,” kata Harry menjelaskan. “Ketika sedang di daerah bukit, tahu-tahu ada yang mengejar kami —“ Bergantian dengan Bob, diceritakannya pengalaman yang mereka alami di bukit-bukit pegunungan Santa Monica. “Akhirnya Chief Reynolds mengizinkan kami pergi.” kata Bob mengakhiri kisah itu. “Katanya ia tidak tahu dalam petualangan macam mana lagi kita sekarang terlibat — tapi juga rupanya begitu penting sampai ada orang mengejar kami. Sebaiknya urusan itu kita serahkan saja untuk ditangani polisi.” “Menurutku polisi takkan tertarik pada apa yang kita ketahui sampai sejauh ini,” kata Jupiter. "Kurasa mereka pasti cenderung menganggapnya lelucon belaka. Kami tadi juga menjumpai kesulitan.” Diceritakannya urusan yang dialaminya bersama Pete, menghadapi Canlos serta laki-laki bertubuh kecil, yang menurut Jupiter kelihatannya seperti joki. Atau bekas joki. “Jadi ternyata ada orang lain yang juga tertarik pada weker serta pesan-pesan itu,” katanya. Weker itu mungkin dicuri orang yang sebelumnya mengejar kalian. Ketika ia melihat kalian dibawa ke kantor polisi, ia mengikuti dari belakang lalu mengambil weker itu dan dalam mobil.” “Tapi siapakah yang mungkin tahu-menahu tentang weker aneh serta pesan-pesan itu?” tanya Bob. “ltulah yang tidak kumengerti.” “Yah, kita tahu bahwa Mr. Jeeters tahu tentang weker itu." kata Jupiter. “Ada kemungkinan itu kemudian dikatakannya pada orang lain. Lalu masih ada pula Cados serta Gerald Cramer. Sebelum kami menyadari bahwa laki-laki kecil itu sebenarnya bukan Gerald yang kita cari, kami sudah menceritakan hampir segala-galanya pada mereka. Jadi ada sejumlah orang yang cukup banyak mengetahui tentang kegiatan kita.” “Sudah terlalu banyak, kalau menurut pendapatku!’ kata Pete menggerutu. “He, Jupe — apakah pesan yang didapat Bob juga seedan yang ada pada kita?” Jupiter membentangkan kertas berisi pesan yang sudah diserahkan Bob padanya. “Sama-sama tidak bisa dimengerti,” katanya. "Tapi baiklah kita pelajari bersama-sama, mungkin nanti ketahuan juga maunya! Tapi sebelumnya coba kausampaikan dulu laporan lengkap, Bob — tentang perjumpaan kalian dengan Mr. King dan dengan wanita yang bernama Miss Imogene Taylor.” Jupiter menyimak laporan Bob sambil memperhatikan hal-hal yang dianggapnya menarik. “Jadi Mr. King saat ini sakit dan berbaring di rumah sakit,” gumamnya. “Mr. Clock mengirimkan weker aneh itu padanya, dengan perkiraan bahwa Mr. King akan melakukan penyelidikan serta mengumpulkan pesan-pesan itu lalu menguraikan makna yang tersembunyi — tapi setelah itu apa? ltulah persoalannya!” “Pada pesan yang direkatkan ke dasar weker ditulis, ‘Setelah itu bertindak! Bahkan kau pun akan heran melihat hasilnya.’ “ kata Bob mengingatkan. “Tepat,” kata Jupiter. “Tapi kenapa ia harus heran? Apakah yang akan terjadi kalau diambil tindakan? Itu yang perlu kita selidiki. Tapi sekarang kita usut saja makna pesan-pesan in, satu demi satu. Pesan yang didapat Bob dan Harry dan Miss Taylor mestinya yang nomor satu — jadi itu saja yang paling dulu kita tilik” Dibeberkan kertas berisi pesan itu, lalu bersama-sama mereka menelaahnya. Tapi bunyinya masih saja tetap misterius. Its quiet there even in a hurrican (Saat badai pun di situ tenang.) Just a word of advice, politely given. (Hanya sepotong nasehat dengan sopan) Old English bowmen loved it (Pemanah lnggris kuno menyukainya) Bigger than a raindrop; smaller than an ocean. (Lebih besar dan tetesan hujan; lebih kecil ketimbang samudra) Im 26. How old are (Aku 26. Berapa umurmu?) It sits on a shelf like a well-fed elf (Duduk di papan rak bagaikan peri montok) “Aku masih tetap tidak bisa membayangkan bahwa ini merupakan pesan,” kata Harry. “Kecuali jika dibuat berwujud sandi.” “Ini kan untuk Mr. King yang sedang sakit,” kata upiter mengingatkannya. “Ia jago sekali dalam soal petunjuk suata teka-teki. Rupanya ini sengaja dibuat untuk diuraikan olehnya sebagai pengisi waktu. Dan jika ia bisa, kita juga harus mampu.” “Kita? Maksudmu kau sendiri,” kata Pete dengan lesu. “Kalau ditilik sepintas lalu,” sambung Jupiter," kalimat-kalimat aneh ini kelihatannya seperti petunjuk-petunjuk untuk teka-teki silang. Aku menarik kesimpulan bahwa tiap kalimat mengandung makna satu kata tertentu. Lalu kala kata-kata itu sudah kita temukan semua, akan ada satu kalimat yang terdiri dan enam kata.” “Tapi kata-kata yang mana?” desak Pete. “Misalnya kalimat pertama.Tempat mana yang selalu tenang, juga apabila ada badai?” “Tempat paling aman waktu badai, di ruang kolong rumah yang berdinding beton,” kata Harry berusaha menebak. “Atau dalam lemari besi di bank,” kata Bob. “Entah, ya,” gumam Jupiter sambil mencubit bibir bawahnya. “Mungkin dugaanmu yang lebih tepat, Bob. Ada kemungkinan pesan-pesan ini ada hubungan dengan sesuatu yang berharga.” “Kenapa kau menduga begitu?” tanya Pete ingin tahu. “Kalau tidak menyangkut barang berharga, untuk apa harus repot-repot begini?” balas Jupite bertanya. “Ya — sudah jelas ini menyangkut benda berharga, dan itu mungkin ada dalam lemari besi di bank. Sekarang kalimat kedus. Di sini dikatakan ‘Hanya sepotong nasihat dengan sopan.’ Apa kata lain untuk nasehat? Tolong ambilkan kamus yang di rak itu, Pete.” Pete mengambilkan lalu menyerahkannya pada Jupiter. “Ini dia,” kata Jupiter setelah membalik-balik halaman kamus itu sebentar. “Nasihat: ajaran atau anjuran yang baik.’ Kita lihat saja cocok tidaknya. ‘Lemari besi — anjuran...’ rasanya malah menjadi semakin aneh.” “Memang,” kata Pete sependapat. “Jika kau ingin mengetahui pendapatku —“ "Tahan dulu, Pete!” seru Jupiter. Pete melongo. “Tahan? Apanya yang harus kutahan Aku tadi cuma hendak menyampaikan pendapat —“ "Itu dia!” kata Jupiter bergairah. “Pendapat! ltu kan nasihat yang disampaikan dengan sopan. Kurasa kalimat yang kedua sudah berhasil kautemukan maknanya.” Pete terkejap-kejap tak mengerti. "Kalau kau mengatakan begitu, mestinya teka-teki ini tidak begitu sukar,” katanya kemudian. Tapi aku masih tetap tidak bisa menebak arti, lemarii besi — pendapat’.” “Aku juga belum,” kata Jupiter mengaku. “Tapi ken masih ada kalimat-kalimat lainnya.” “Kalimat ketiga berbunyi, Pemanah Inygris kuno menyukainya” kata Bob sambil membaca. “Menyukai apa? Pemanah beraksi dengan busur serta anak panah. Mungkin panah yang mereka sukai,” “Mereka juga gemar berperang,” kata Jupiter. “Lemari besi — pendapat— perang!” kata Harry dengan nada bingung. “Bagiku, kedengarannya malah semakin aneh,” “Aku sependapat denganmu.” kata Jupiter dengan kening berkerut "Tapi -" Saat itu terdengar suara Bibi Mathilda Jones berseru memanggil-manggil dengan lantang masuk lewat tingkap langit-langit yang terbuka. “Jupiter! Yuk— kita makan! Toko akan ditutup!” “Sebentar lagi aku datang, Bibi Mathilda,” jawa Jupiter lewat mikrofon yang berhubungan dengan alat pengeras suara yang terdapat di kantor bibinya. Kemudian ia berkata pada ketiga temannya “Kurasa kita cuma bisa sampai di sini saja hari ini. Bagaimana, Harry — kau bisa datang lagi besok?’ “Kurasa tidak bisa,” kata Harry. “Ibuku memerlukan bantuanku di rumah. Di samping itu aku juga tidak melihat adanya kemajuan di sini.” “Yah — kalau begitu nanti kau akan mendapat kabar dari kami,” kata Jupiter. “Sementara itu kau awasi Mr. Jeeters. Jangan lupa, orang itu pernah mencoba merampas weker dari kami. Mungkin dia juga membuntuti kalian tadi, lalu mencuri weker dari mobilmu yang diparkir.” “Baiklah, aku akan mengawasinya.” kata Harry berjanji.”Aku curiga padanya. Ia pasti hendak melakukan sesuatu secara diam-diam.” “Sementara itu kami bertiga —“ Jupiter tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena saat itu telepon berdering. “Kantor Trio Detektif — di sini Jupiter Jones, kata Jupe sambil mendekatkan gagang pesawat itu ke mulutnya. “Halo,” kata yang menelepon. Sesaat Jupite tidak mengenali suara itu. Tapi orang itu sendiri yang menyebutkan nama. “Di sini Gerald Watson. Kau tadi datang ke rumahku untuk mengambil pesan yang dititipkan Bert Cock” “Ya, betul,” kata Jupiter. “Ada apa?’ “Aku cuma hendak memberi tahu apa yang terjadi setelah kalian pergi dari sini tadi,” kata orang itu. “Apakah yang terjadi?" "Ada orang lain datang menanyakan pesan itu,” kata Gerald Watson. “Seorang laki-laki bertubuh jangkung dan berambut hitam. Kurasa ia orang Amerika Selatan. Ia datang membawa teman, laki-laki bertubuh kecil. Menurut pengakuan orang itu, mereka disuruh datang oleh Bert Clock” “Tapi pesan itu kan sudah Anda serahkan pada kami,” kata Jupiter. Ia tidak begitu mengerti. “Betul,” kata Mr. Watson, “Mereka lalu menanyakan pada siapa pesan itu kuserahkan. Kutunjukkan kartu nama kalian, yang kemudian mereka catat Setelah mereka pergi, aku lantas berpikir-pikir. Aku agak curiga terhadap mereka. Orang yang bernama Carlos itu bicaranya pintar sekali. Terlalu pintar!” “Yah — apa boleh buat,” kata Jupiter. “Terima kasib atas pemberitahuan Anda, Mr. Watson.” Setelah mengembalikan gagang telepon ke tempatnya, Jupiter berpaling memandang teman- temannya. “Sekarang Carlos dan Gerald Cramer sudah mengetahui nama-nama kita,” katanya. “Sudah jelas mereka menginginkan pesan-pesan serta weker itu. Mr. Jeeters juga begitu. Jadi yang mencuri weker itu orang lain lagi yang belum kita ketahui identitasnya. Ternyata banyak sekali minat yang ada dalam misteri ini! Aku ingin sekali tahu, kita ini sedang terlibat dalam urusan apa!” Bab 13 Petunjuk-petunjuk Baru Bob sarapan dengan terburu-buru. Ia hendak pergi ke Jones Salvage Yard, seperti sudah disepakatkan bersama kemarin sebelum berpisah. Tapi tahu-tahu telepon berdering. Miss Bennett, pengawas perpustakaan di mana Bob kadang-kadang membantu, menanyakan apakah ia punya waktu untuk datang. Banyak pekerjaan yang perlu diselesaikan di perpustakaan, kata Miss Bennett. Bob tidak bisa menolak, walau ia sebenarnya ngin ikut hadir di markas untuk mencoba menguraikan teka-teki yang terkandung dalam pesan-pesan Bert Clock bersama Jupiter dan Pete. Tapi ia juga tidak mau mengecewakan Miss Bennett. Akhirnya ia mengatakan bahwa ia akan segera datang. Miss Bennett menyambut kedatangannya dengan perasaan lega, karena pembantunya yang tetap hari itu tidak masuk. Bob langsung sibuk, sampai saat makan siang. Miss Bennett bertanya, apakah ia masih bisa terus menbantu. Bob memang ringan tangan. Ia tidak sampai hati menolak. Ia cepat-cepat makan roti sandwich yang dibekalkan ibunya agar masih tersisa waktu baginya sendiri untuk mengadakan penyelidikan. Secara untung-untungan ia memutuskan untuk mencari-cari keterangan mengenai ‘badai’, karena itu disebut-sebut dalam kalimat awal pesan misterius yang pertama. Dibacanya ulasan yang agak panjang dalam ensikiopedi. Ditemukannya suatu fakta di situ yang langsung menimbulkan semangat. Fakta itu cepat-cepat dicatat. Setelah itu ia berpindah menyimak keterangan mengenai hal memanah. Perhatiannya khusus pada pemanah Inggris kuno. Di situ ia kembali menemukan fakta yang menyebabkan ia ingin bersorak rasanya. Tapi keinginan itu ditahan olehnya. Setelah itu ia berpindah ke ‘samudra’. Tapi mengenai itu tidak dijumpai sesuatu yang mungkin bisa dipakai. Sementara itu waktu istirahat makan siang sudah habis. Ia melanjutkan kesibukannya lagi membantu Miss Bennett. Ia ingin cepat-cepat pergi ke markas untuk menyampaikan fakta-fakta yang berhasil ditemukannya pada Pete dan Jupiter. Tapi pekerjaan di perpustakaan masih banyak yang perlu diselesaikan. Ketika sudah pukul lima sore barulah Miss Bennett mengatakan bahwa ia boleh pulang, tanpa lupa mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Bob tidak menunggu lama-lama lagi. Disambarnya sepedanya lalu dikayuhnya dengan cepat ke Jones Salvage Yard. Sesampai di tempat itu ditemukannya Jupiter dan Pete sedang sibuk bekerja. Dengan tampang Iesu kedua remaja itu menumpukkan barang-barang bekas dengan rapi di bagian belakang pondok yang dipergunakan sebagai kantor perusahaan. “Sepanjang hari tadi kami bekerja terus” keluh Jupiter ketika Bob turun dari sepedanya. “Pagi tadi Paman Titus pulang membawa barang satu truk penuh. Lalu kami disuruh Bibi Mathilda menyortir barang-barang itu, sampai sekarang. Hari ini Hans dan Konrad tidak masuk. Jadi kami tidak sempat melanjutkan pengusutan sama sekali.” “Ada kabar dan Harry?” tanya Bob. “Ia tadi menelepon. Katanya, ia didesak Mr. Jeeters untuk mengatakan apa saja yang dilakukan olehnya bersama kita kemarin. Karena takut diancam, Harry lalu bercerita bahwa kita kemarin disibukkan oleh pesan-pesan edan yang tidak keruan artinya. Harry juga mengatakan pada Mr. Jeeters tentang weker yang dicuri orang. Mr. Jeeters marah sekali ketika mendengar itu.” “Rupanya Mr. Jeeters mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui,” kata Bob. “Mungkin kita juga akan bisa tahu apabila sudah berhasil menguraikan teka-teki pesan-pesan itu. Itu kalau memang bisa! He, Jupe — aku tadi —“ “Jupiter!” Suara Mrs. Jones yang nyaring tidak mungkin tidak terdengar. “Ayo — jangan. santai saja, kau kan belum selesai! Bob Andrews! Untung kau datang. Tolong catatkan semua barang yang baru dibeli Titus, ya! Tapi yang rapi — aku akan menyiapkan makan malam!” Bibi Mathilda datang lalu menyodorkan sebuah buku catatan yang besar ke tangan Bob. Buku itu berisi catatan barang-barang yang ada di Jones Salvage Yard. “Catat dengan teliti, ya,” kata bibi Jupiter itu pada Bob. "Dan kalau kalian nanti selesai, semua di sini harus sudah rapi. Nanti kalian kupanggil, apabila makanan sudah siap!” Bob yang sudah sehari penuh bekerja di perpustakaan, harus bekerja lagi di situ, membantu Bibi Mathilda. Pete dan Jupe menumpukkan barang-barang yang baru datang sambil menyebutkan jenisnya satu-satu. “Satu kursi goyang!” seru Pete. “Satu kursi goyang,” gumam Bob sambil mencatat. “Satu set alat berkebun, sudah berkarat” kata Jupiter. “Satu set alat berkebun, berkarat,” ucap Bob pelan sambil mencatat lagi. Begitu terus, hampir satu jam lamanya. Akhimya semua selesai diatur dan dicatat Pete dan Jupiter langsung duduk terhenyak. Mereka kelihatannya sangat capek. Bob sebenarnya juga agak capek. Tapi ia ingin cepat-cepat mengetahui, apakah hasil penelitiannya di perpustakaan tadi ada gunanya atau tidak dalam pengusutan makna pesan-pesan itu. “He — apakah kita akan melanjutkan pekerjaan kita kemarin?” tanyanya “Aduh — aku capek sekali, tidak mungkin otakku bisa bekerja,” kata Pete sambil mengeluh. "Bahkan bergerak saja sudah tidak mampu lagi. Sana — jangan ganggu kami lagi, Bob. Saat ini sama sekali tak ada minatku pada misteri!” “Otakku juga sudah macet sekarang,” kata Jupiter. “Lebih baik besok saja kita teruskan, Bob.” “Tapi aku punya petunjuk baru!” kata Bob. ‘Bahkan dua sekaligus. Kurasa bisa cocok” “Apa itu — petunjuk?” kata Pete lesu. “Belum pernah kudengar kata itu,” Kelihatannya ia benar-benar segan berpikir saat itu. “Ah — kenapa tidak kita dengarkan saja apa yang hendak dikatakan olehnya,” kata Jupiter mengalah. “Baiklah, Bob — petunjuk apa yang berhasil kauketahui?” “Begini ceritanya,” kata Bob memulai. “Tadi sewaktu sedang istirahat siang di perpustakaan, aku melihat-lihat dalam ensikiopedi untuk mengetahui seluk-beluk badai dan topan.” Jupiter mendengarkan dengan penuh minat, sementara Bob melanjutkan penjelasannya. Menurut keterangan dalam ensikiopedi yang dibacanya tadi, di tengah badai ada satu tempat yang tenang — yaitu di pusatnya. Di tempat-tempat lain badai bisa saja mengamuk dengan kecepatan seratus mil per jam. Tapi tepat di pusatnya cuaca bisa saja tenang dengan matahari bersinar terang. Dalam bahasa lnggris, pusat badai disebut eye — jadi ‘mata’. “Lalu?” kata Jupiter. Keterangan selanjutnya itulah yang tadi menyebabkan Bob begitu bergairah, ingin meneruskan pengusutan dengan segera. Eye dilafalkan berbunyi’ai’ — sama dengan I — yang berarti ‘saya’ atau ‘aku’. “Nab, kurasa I itulah kata pertama dari pesan itu,” kata Bob. “Satu-satunya pesan yang ingin kudengar saat ini cuma dari Bibi Mathilda, yang mengatakan makan malam sudah siap,” kata Pete mengomel. “Kurasa Bob benar — Ia menemukan petunjuk penting.” kata Jupiter sambil berdiri dengan susah payah. “Lalu apa petunjuk yang satu lagi, Bob?” “Kecuali ‘badai’, aku juga membaca tentang hal memanah serta ‘pemanah Inggris kuno’,” sambung Bob. “Mereka itu biasanya memakai busur panah yang dibuat dari kayu potion yew . Jadi kalau dikatakan pemanah Inggris kuno menyukainya — ada juga betulnya, kan! Sedang kata yew ucapannya persis sama seperti ucapan kata you — ‘kau’ atau ‘anda’.” “Kurasa jalan pikiranmu benar, Bob,” kata Jupiter setelah merenungkan sebentar. “Sebaiknya kita masuk sebentar ke markas sebelum dlpanggil makan oleb Bibi Mathilda. Kita coba sekali lagi mengusut makna pesan yang itu.” “Kenapa tidak besok saja?” tanya Pete yang sudah malas berpikir. Tapi akhimya ia ikut juga, ketika dilihatnya Bob dan Jupiter melangkah menuju Lorong Dua. Tidak lama kemudian ketiga remaja ini sudah duduk mengelilingi meja yang di atasnya terletak kertas berisi pesan misterius pertama. “Kalimat pertama pesan ini berbunyi, ' Saat badai pun di situ tenang,’ “kata Jupiter sambil membaca kalimat itu. “Jika tebakan Bob tepat, maka kata yang dicari itu ‘mata’ — jadi eye.” Dituliskannya kata itu. “Sedang kalimat kedua yang mengatakan, ‘Hanya sepotong nasihat dengan sopan’, menurut kita kemarin mungkin berarti pendapat. Kata itu pun dicatatnya. “Lalu apabila kalimat ‘Pemanah lnggris kuno menyukainya’ berarti ‘Yew' maka tiga kalimat pertama sudah kita temukan. Begini bunyinya.” Mata pendapat yew. “Agak aneh,” kata Jupiter sendiri, “tapi langsung ada artinya jika tulisannya kita ubah berdasarkan bunyi pengucapannya.” Kalimat semula yang tertulis ‘Eye suggestion yew’ diubahnya menjadi ‘I suggest you'. “I suggest you —‘ jadi ‘Kusarankan padamu —“ Begitu membacanya. Pete langsung lupa pada rasa capek “Wah — kelihatannya memang seperti awal pesan tertentu. Oke, Jupe — apa kata yang keempat?” “Petunjuk yang ada di sini berbunyi begini,” kata Jupiter membacakan, ‘Lebih besar dari tetesan hujan; lebih kecil ketimbang samudra.’ itu bisa sungai, bisa danau — atau laut “Laut — jadi sea,” seru Bob bersemangat “Sea lafalnya sama dengan see ‘lihat’. Pasti itu kata yang tepat Lalu sekarang petunjuk kelima. ‘Aku 26. Berapa umurmu?’ Wah — ini rasanya lebih sulit. Apa yang berumur 26 tahun?” "Kurasa sebutan umur cuma untuk menyesatkan saja,” kata Jupiter mengutarakan dugaannya. Angka 26 itu menurutku pasti berarti yang kedua uluh enam dalam suatu rangkaian tertentu. Yang paling umum dikenal sebagai nomor 26 adalah—” "Biar aku saja yang mencoba!” sela Pete. Dalam abjad ada 26 huruf — dan hurut yang terakhir adalah z. Bagaimana, bisa cocok tidak?” “Kalau kita pakai bunyinya sebagai pegangan, bisa saja,” kata Jupiter “Huruf z dalam bahasa Inggris bunyinya mirip kata the. Lagi pula cocok untuk pesan yang dicari. Sekarang tinggal petunjuk terakhir, ‘Duduk di papan rak bagaikan peri montok,’ Nah — siapa punya gagasan mengenainya?’ “Aku sudah mencari keterangan mengenai ‘peri’ di perpustakaan,” kata Bob, “tapi tak ada yang bisa dipakai” “Apa yang duduk di papan rak?” kala Pete setengah bertanya “Seperti peri?" “Kata ‘peri’ itu kurasa juga cuma untuk menyesatkan saja,” kata Jupiter. “Bob, kau biasa duduk menghadapi papan-papan rak sepanjang hari. Tidak terbayangkan olehmu, apa yang biasa duduk di situ?” ‘Buku!” kata Bob setengah berteriak “Dan buku kan penuh dengan kata-kata. Bisa saja dikatakan montok — karena orang dikatakan montok kalau banyak makan. Jadi buku bisa dikatakan montok karena banyak kata-kata di dalamnya !“ “Kurasa kita sekarang sudab berhasil menemukan pesan yang sebenamya,” kata Jupiter “Sebentar — kutulis dulu,” Ia menuliskan kelima kata yang telah ditemukan. I suggest you see the book. "Kusarankan kau lihat buku” kata Pete menyimak tulisan itu. ‘Wow! Tapi — lalu apa artinya? Buku yang mana yang disarankan agar kita lihat? Dan jika kita sudah melihatnya, lalu apa yang diperbuat dengannya?” “Masih ada dua pesan lagi yang juga perlu diuraikan teka-tekinya,” kata Jupiter. “Jika kita —“ kalimatnya terpotong oleh seruan Bibi Mathilda memanggil mereka. “Ayo, Anak-anak — kita makan?” “Itu berarti kita harus berhenti sampai di sini saja, ‘kata Jupiter agak menyesal. “Tapi besok kita teruskan lagi. Kurasa kita akan bisa lebih lancar saat itu, karena sudah tidak capek lagi seperti sekarang.” Ketiga remaja itu pergi meninggalkan pesan-pesan misterius itu untuk diteruskan pengusutannya besok. Saat itu mereka sudah lapar sekali. Bab 14 Pesan dan Angka-angka Sandi Sambil makan ketiga remaja itu sibuk membicarakan arti pesan yang baru saja mereka uraikan kalimatnya. Pesan itu menganjurkan untuk melihat buku. Tapi buku mana? Mereka sama sekali tidak bisa menebaknya. "Mungkinkah kalau injil?” kata Pete berusaha menduga. “Kan banyak orang menyebutnya ‘Buku Suci’ “Menurutku bukan itu jawabannya,” kata Jupiter sambil mengambil makanan pencuci mulut porsi lagi.”Tapi siapa tahu, mungkin juga benar! Barangkali pesan selanjutnya bisa menambah penjelasan.” "Proyek apa lagi yang sedang kalian tangani saat ini,?” tanya Paman Titus yang duduk di ujung meja makan. "Ada beberapa pesan misterius yang sedang kami selidiki maknanya, Paman,” kata Jupiter. Sampai sekarang baru awalnya yang berhasil kami telusuri.” "Kalian ini ada-ada saja, dengan klub kalian itu!” kata Bibi Mathilda. Ia memotong kue lagi untuk Pete. “Sungguh — untung aku bisa memberi pekerjaan bagi kalian! Coba kalau tidak, kalian pasti sepanjang hari kerjanya cuma menekuni teka-teki saja.’ Ketiga remaja itu dulu memang pernah mempunyai klub penerka teka-teki. Kemudian beralih menjadi Trio Detektif. Tapi Mrs. Jones masih saja mengira kesibukan utama mereka bertiga adalah menebak permainan teka-teki. “Yah — yang jelas malam ini aku tidak bisa lagi menebak apa-apa,” kata Jupiter sambil menguap. "Sepanjang hari tadi kami Anda suruh bekerja udara terbuka, Bibi — jadinya aku sekarang cepat sekali mengantuk” “Aku bahkan dua kali lebih cepat,” kata Pete yang ikut-ikutan menguap. “Makanannya enak sekali, Mrs. Jones — tapi maaf, kalau boleh saya ingin pulang tidur sekarang juga.” Setelah berpamitan, Pete dan Bob pulanng. Mereka bersepeda bersama-sama sejauh beberapa blok, lalu berpisah dan menuju ke rumah masing-masing. Keduanya tidak melihat mobil pick up tertutup yang mengikuti mereka dan belakang dengan lambat-lambat Ketika mereka berpisah, kendaraan itu lalu membuntuti Bob. Sementara itu Jupiter membantu bibinya membereskan meja. Tapi ia melakukannya sambil sebentar-sebentar menguap. “Wah, kau rupanya benar-benar sudah sangat capek, Jupiter, kata Bibi Mathilda “Sana, pergi saja tidur.” Tanpa menunggu disuruh dua kali lagi, ia langsung pergi ke kamar tidur. Tapi ketika sudah berbaring di tempat tidur, pikirannya mulai menerawang ke pesan-pesan misterius yang belum sempat diusut malam itu. Kusarankan kaulihat buku. Itu pesan pertama. Buku yang mana? Mungkinkah jawabannya terkandung dalam pesan kedua? Jupiter berusaha mengingat-ingat bunyi pesan kedua. Semakin keras ia berusaha mengingat, semakin lenyap rasa mengantuk. Akhirnya ia mengambil keputusan. Sebelum bisa tidur, ia hendak berusaha menguraikan makna pesan yang kedua dulu. Ia berpakaian lagi lalu turun ke bawah. Paman dan bibinya yang sedang menonton televisi kaget melihat ia muncul lagi "Astaga. Kusangka kau sudah lama tidur,” kata Bibi Mathilda. “Maunya memang begitu, tapi kemudian ada sesuatu yang teringat, kata Jupiter. “Anu, semacam teka-teki. Tadi kutinggalkan di tempat kerja. Aku hendak mengambilnya untuk kuusut sebentar sebelum tidur. “Asal otakmu tidak capek saja nanti. karena terlalu banyak memikirkan teka-teki,” kata Mrs. Jones sambil mendesah. Jupiter pergi ke sisi depan kompleks penimbunan barang yang dekat Ietaknya dan rumah. Pintu gerbang sudah ditutup dan dikunci dengan gembok. Tapi ada jalan masuk rahasia yang bisa dipakai dalam keadaan mendesak, seperti saat itu. Jupiter berjalan sepanjang pagar kayu yang dihiasi gambar-gambar berwarna-warni. Akhirnya sampai di depan dua lembar papan pagar. Papan-papan itu dicat berwarna hijau. Jupiter mendorong satu tempat tertentu dengan jari telunjuknya. Tanpa berbunyi sedikit pun kedua papan tadi tergeser ke belakang. Kini di depan remaja itu ada jalan masuk yang sempit. Itulah Gerbang Hijau Satu. Satu dari beberapa jalan masuk dan keluar yang hanya dikenal ketiga anggota Trio Detektif saja. Jupiter melewati celah sempit itu dan masuk ke bagian yang merupakan bengkel khusus tempat ia bekerja. Kini ia menuju ke mesin cetak, menggeser kisi-kisi besi yang tersandar di sebelah belakang untuk membuka jalan masuk ke Lorong Dua. Ia merangkak masuk sampai ke ujungnya, mengangkat tingkap lantai ke atas dan naik ke ruang kantor Markas Trio Detektif. Pesan-pesan misterius disimpannya dalam laci meja. Sambil menyalakan lampu atas, dikeluarkannya kertas-kertas itu. Kertas berisi pesan pertama yang menyuruh lihat buku dikesampingkannya. Pesan kedua yang diperolehnya bersama Pete dari orang yang bernama Gerald Watson dibeberkannya di depannya. Dibaca begitu saja. bunyinya sangat membingungkan. Take one lily; kill my friend Eli. (Ambil satu lily; bunuh kawanku Eli) Positively number one. (Sudah pasti nomor satu.) Take a broom and swat a bee. (Ambil sapu dan pukul seekor lebah.) What you do with clothes, almost. (Apa yang kaulakukan dengan pakaian, hampir.) Not Mother, not Sister. not Brother; but perhaps Father. (Bukan Ibu, bukan saudara laki atau perempuan; tapi mungkin Bapak) Hymns? Hams? Homes? Almost not quite. (Himne? Ham? Rumah tinggal? Hampir, tidak sama.) Tapi sesudah membaca kalimat-kalimat aneh itu beberapa kali, dalam pikiran Jupiter mulai terbayang beberapa kemungkinan. Pemecahan rahasia pesan pertama menunjukkan jalan yang harus ditempuh. Setiap kalimat merupakan petunjuk pada kata tertentu, seperti pada teka-teki silang yang agak rumit. Baris pertama mengatakan, ‘Ambil satu lily.’ Jupiter melakukannya dengan jalan menuliskan ‘satu lily’ di atas kertas. One lily. Ditatapnya tulisan itu. Apa hubungannya dengan Eli yang harus dibunuh? Kemudian ia melihatnya. Tiga huruf di tengah One lily’ adalah kata itu! Dengan perasaan puas dihapusnya ketiga huruf itu. Jadi ia ‘membunuh’ Eli. Yang tinggal kini berbunyi, ‘Only' “Only! Hanya!” seru Jupiter lirih. “Pasti itu kata yang harus dicari’ Sekarang kalimat kedua. Bagaimana bunyinya? ‘Sudah pasti nomor satu.’ Dalam pesan pertama, nomor dua puluh enam temyata huruf z. Bagaimana kalau yang pasti nomor satu ini huruf a? Cocok! Pesan kedua ini dimulal dengan, Only a —. Jadi Hanya satu." Ia langsung saja menuliskan kata broom yang harus diambil dan kalimat ketiga. Pukul seekor lebah. Hmm. Rasanya bee juga bukan ‘lebah’, tapi bunyi huruf b menurut ejaan dalam bahasa Inggris. Pukul b, artinya pasti hapuskan huruf itu. Itu dilakukan olehnya. Yang tinggal kini kata room. ‘Kamar’? Jupiter semakin bersemangat. Ia bekerja sambil menggumam pada dirinya sendiri, seperti yang kadang-kadang dilakukannya jika ia sedang asyik. “Sekarang, Apa yang kaulakukan dengan pakaian, hanya’ Yah — pakaian biasanya diapakan? Tentu saja dipakai.’ Dalam bahasa Inggris, ‘memakai’ adalah to wear. Jadi wear. “Kata apakah yang hampir seperti wear, tapi bukan? Bagaimana kalau where?’ Where berarti ‘di mana.' ‘Ya, mestinya itulah kata yang hams kucari." gumam Jupiter. “Jadi pesan itu sampai sekarang sudah berbunyi, Only a room where —. Jadi ‘Hanya satu kamar di mana —‘ Sejauh ini, memang bisa ada artinya.” Potongan kalimat itu ditulisnya di atas kertas, laku dimulainya menghadapi baris pesan kelima. Itu agak membingungkan. Dicobanya mencari kata-kata padanan untuk ‘ayah’. Bagaimana kalau Dad atau Pop— atau barangkali ‘Kepala keluarga’. Tidak, semua ‘rasanya tidak cocok! Jupiter berpikir sambil mencubiti bibir bawabnya. Mungkin kata Father dimaksudkan dalam makna yang lebih luas. Bagaimana dengan ‘Father Christmas’? Tidak, rasanya tidak cocok. Atau ‘Father Time’? Dalam kebudayaan Barat. waktu diperlambangkan sebagai uang. Misalnya saja saat pergantian tahun, tahun baru biasa digambarkan sebagai bayi yang baru lahir, sementara tahun yang lama berupa kakek-kakek yang sudah tua renta. Dan secara umum, perlambang waktu disebut ‘Bapak Waktu’, atau ‘Father Time’! Jupiter bergegas menuliskan kalimat terakhir. Apa yang bunyinya mirip hymns. hams, dan homes — tapi agak lain? Cuma ada dua yang bisa diingatnya saat itu. Hems dan hums, Hems tidak cocok, karena berarti ‘mengelim baju’. Kalau hums — cocok! Dengan rasa menang dituliskannya kalimat yang ditemukan. Only a room where Father Tune hums. ‘Hanya satu kamar di mana Bapak Waktu mendengung.’ Tapi waktu kan tidak mendengung. Waktu berlalu tanpa bunyi. Tapi jika yang dimaksudkan jam — jam berdetik — kecuali — "ltu dia jawaban yang benar!” seru Jupiter seorang diri. “Jam-jam yang ada di ruang baca Mr. Clock mendengung semuanya karena digerakkan dengan tenaga listrik. ltulah satu ruangan di mana waktu benar-benar mendengung.” Sekarang sudab ada dua pesan yang mengandung makna yang bisa dimengerti. Kusarankan kaulihat buku Hanya satu kamar di mana Bapak Waktu mendengung Kamar yang dimaksud mestinya kamar dalam rumah Mr. Clock tempat jam-jam yang semua mengeluarkan suara menjerit itu. Tapi kalau buku — ia masih tetap belum tahu buku mana yang dimaksudkan. Tapi mungkin petunjuk mengenainya akan diperoleh juga kemudian. Kini Jupiter mengambil potongan kertas dengan bagian awal pesan yang diperoleh dan Miss Martha Harris, lalu memperhatikan deretan hurul-huruf yang paling atas. 3-27 4-36 5-19 48-12 7-11 15-9 Dalam keadaan biasa, deretan angka-angka itu takkan ada artinya sama sekali bagi Jupiter. Tapi karena dalam pesan yang berhasil diuraikan ada saran untuk melihat buku, maka rasanya ia memahami makna angka-angka itu. Suatu bentuk sandi yang sering dipakai, melibatkan penggunaan buku tertentu. Pengirim pesan mengutip kata-kata dalam salah satu buku yang dinilai cocok untuk keperluannya, mencatat nomor halaman serta letak kata yang dipilih dalam halaman itu, lalu mengirimkan catatan itu saja pada orang yang dituju Karena si penerima juga memiliki buku itu, pesan yang dikirim bisa dibaca olehnya dengan jalan mencari kata-katanya dalam buku. Dan angka-angka yang tertera di atas kertas itu menurut dugaan Jupiter pasti berarti nomor halaman serta letak urutan kata dalam salah satu buku tertentu. Tapi Jupiter tidak memiliki buku itu. Ia bahkan sama sekali tidak tahu buku mana yang dimaksudkan. Yang lebih payah lagi. kertas yang ada padanya cuma sepotong — sedang potongan sisanya masih ada di tangan Carlos! Jupiter memasukkan kertas-kertas pesan kembali ke laci. Ia hendak tidur sekarang. Tapi ketika ia hendak keluar lagi lewat Lorong Dua, tahu-tahu pesawat telepon berdering. Diangkatnya gagang pesawat itu dengan perasaan heran. Siapa lagi yang menelepon malam-malam begini, katanya dalam hati. “Ya — di sini Jupiter Jones dari Trio Detektif.” “Jupe!” Eh — itu kan suara Bob. Kedengarannya seperti ketakutan. “Gawat nih, Jupe — aku perlu bantuan!" Bab 15 Bob dalam Kesulitan Bob bersepeda pulang seorang diri, setelah berpisah dari Pete tadi. Ia tidak sadar bahwa di belakangnya ada mobil pick up tertutup membuntuti. Tapi ketika memasuki ruas jalan yang tidak ada rumah di pinggirnya, mobil itu menyusul lalu berhenti agak di depannya. Seorang remaja bergegas turun. “Bob!” seru remaja itu. Bob terkejut. lalu cepat-cepat mengerem. Tennyata remaja yang turun dari mobil yang menyusul itu Harry. Ia nampak gugup sekali. Bob turun dari sepedanya, lalu menuntunnya mendekati Harry. “Kenapa kau, Harry? Ada bahaya?” Seorang laki-laki bertubuh kecil sigap meloncat turun dari bagian belakang mobil. “Kau yang akan mengalami bahaya jika tidak mau patuh,” geram laki-laki itu. “Jangan coba-coba lari!” “Maaf Bob!” Tampang Harry nampak kecut. “Aku dipaksa mencegatmu. Ibuku mereka kurung di rumah.” “Sudah, jangan banyak bicara lagi,” sergah laki-laki tadi. Pada Bob ia membentak, “Kemarikan sepedamu, dan kau sendiri masuk. Ayo, cepat!” Bob celingukan sebentar. Jalan saat itu sepi. Tidak ada orang yang bisa dimintai tolong. Lagi juga tidak ada gunanya. Lagi pula ia tidak bisa lari cepat, karena kakinya pernah patah dulu. Laki-laki bertubuh kecil itu merampas sepeda dari tangannya sambil menolakkannya dengan sikap tidak sabar ke arah mobil. “Ayo, masuk!” bentaknya. “Kau juga, Harry!” Bob naik ke bagian belakang mobil, disusul oleh Harry. Laki-laki tadi menaikkan sepeda Bob ke situ pula. Pintu belakang ditutup lalu dikunci. kedua remaja itu kini terkurung di tempat gelap. “Mereka tadi berjanji takkan menyakiti kita, Bob,” kata Harry dengan suara lirih. “Mereka cuma meminta keterangan — tentang weker serta pesan-pesan itu. Tapi tidak cukup banyak yang bisa kukatakan. Karenanya mereka lantas memutuskan untuk memperobehnya dari satu di antara kalian. Sedari tadi mereka mengamat-amati kompleks penimbunan barang bekas, menunggu kesempatan baik untuk menyergap salah seorang dari kalian bertiga.” “Tapi siapa mereka itu?” tanya Bob, sementara mobil tempat mereka disandera berjalan tergoyang-goyang ke salah satu tujuan yang tidak mereka ketahui. “Satu dari mereka Mr. Jeeters. Kecuali dia masih ada dua orang lagi. Yang satu jangkung, bernama Carlos. Sedang yang ketiga orang yang kaulihat tadi namanya Jerry. Ia dulunya joki.” “Carlos dan Gerald!” kata Bob kaget. “Mereka itulah yang didatangi Pete dan Jupiter kemarin siang. Dari Carlos itu Jupiter berhasil merampas salah satu kertas pesan, walau cuma sepotong. Potongan sisanya masih ada padanya!” "Ya — dan itu yang menyebabkan kau diculik, Mereka ingin tahu maksud pesan itu,” keluh Harry. “Mereka mencari sesuatu yang berharga dan bertekad untuk menemukannya. Menurut dugaan mereka, pasti kita ada petunjuk tentang tempat barang itu disembunyikan!” “Andaikan itu benar, yang jelas kita tidak mengetahui bagaimana bunyi petunjuk itu,” jawab Bob. “Tapi Jupe tadi mengatakan bahwa ia yakin misteri ini menyangkut sesuatu yang berharga” “Carlos dan Jerry mendatangi Mr. Jeeters tadi sore. Lama sekali mereka berbicara bertiga. Kemudian tahu-tahu aku dicekal lalu dipaksa menceritakan segala-galanya yang kuketahui.Wah — maaf sekali, Bob, tapi aku terpaksa. Habis, mereka mengancamku. Kata mereka jika aku tidak mau membantu, ibuku akan menjadi korban.” “Jangan kaupersalahkan dirimu, karena memang tidak ada jalan lain,” kata Bob. “Katamu tadi, ibumu dikurung oleh mereka?” “Ya, di rumah Mr. Hadley — maksudku, Mr. Clock. Mereka tadi juga menyebut-nyebutnya dengan nama Mr. Clock. Aku menguping pembicaraan mereka. Dari situ kuketahui bahwa Mr. Jeeters memang sengaja mondok di rumah itu karena hendak mencari tempat penyembunyian barang tertentu. Kau nanti harus mengatakan segalanya yang kauketahui, ya — supaya kita dibebaskan lagi dan ibuku tidak apa-apa. Berjanji ya, Bob!” “Sulitnya, aku ini sebenarnya tidak tahu apa-apa,” kata Bob. “Pesan yang satu menang sudah berhasil kami uraikan maknanya. Tapi ternyata hanya menganjurkan untuk melihat buku. Buku yang mana, kami sama sekali tidak tahu! Pengusutan kami tadi baru sampai di situ saja.” “Mereka pasti marah kalau begitu.” kata Harry dengan cemas. “Soalnya, mereka yakin bahwa sementara ini kalian pasti sudah berhasil menemukan kunci teka-teki pesan-pesan itu. Mereka menyelidiki siapa kalian sebenarnya. Dan kini mereka berkeyakinan bahwa kalian pasti sangat cerdas.” “Yang cerdas itu Jupe,” kata Bob sambil mendesah. "Mungkin jika aku bisa meyakinkan mereka bahwa aku ini tidak tahu apa-apa, nanti kita akan dibebaskan. Bagaimanapun apa gunanya bagi mereka menahan kita terus, jika kita tidak tahu apa-apa?” Keduanya terdiam, dengan harapan bahwa ucapan Bob yang terakhir benar-benar akan menjadi kenyataan nanti. Sementara itu mobil yang mengangkut mereka meluncur terus. Beberapa kali terasa bahwa kendaraan itu membelok. Tapi arah yang dituju sama sekali tidak bisa diketahui. Rasanya lama sekali perjalanan itu. Tapi akhirnya mobil berhenti. Terdengar bunyi seperti pintu sorong sebuah garasi didorong. Mobil pengangkut itu maju sedikit, lalu berhenti lagi. Terdengar kembali bunyi pintu sorong. Rupanya ditutup lagi. Pintu belakang mobil dibuka. Terdengar suara laki-laki yang bemama Jerry. “Ayo, sekarang turun,” katanya pada Bob dan Harry. “Jangan bertingkah, jika masih ingin selamat!” Bob turun lebih dulu, diikuti oleh Harry. Bob menginjakkan kaki ke lantai beton. Ia memandang berkeliling. Ternyata mereka berada dalam sebuah garasi yang bisa memuat dua mobiL Pintu garasi tertutup rapat. Di sisi kiri dan kanan ruangan itu ada jendela yang tertutup kerai. Tempat itu diterangi lampu listrik yang tergantung tanpa tutup. Sinarnya remang-remang. Hanya mobil yang mereka tumpangi tadi saja yang ada dalam garasi itu. Bagian yang separuh lagi diubah menjadi semacam bengkel. Berbagai perlengkapan nampak di situ, begitu pula bermacam-macam perkakas. termasuk alat pengelas. Di samping bangku kerja ada beberapa kursi. “Duduk,” kata Jerry sambil menunjuk ke kursi-kursi itu (di versi asli ia). Ia menyeringai dengan sikap mengejek. “Santai-santai sajalah!” Kedua remaja itu duduk. Mr. Jeeters keluar dari sebelah depan mobil, diikuti oleh Carlos yang necis dan tersenyum-senyum. Muka Mr. Jeeters yang lonjong nampak pucat disinari cahaya lampu remang-remang. Kesannya sama sekali tidak mengenakkan perasaan kedua remaja itu. “Ikat mereka dulu dengan tali,” kata Mr. Jeeters pada Jerry. “Setelah itu kita akan bicara.” Dengan tangkas Jerry melibatkan seutas tali yang diambil dari meja kerja pada dada Bob dan Harry, lalu menyimpulkannya erat-erat di bagian belakang kursi tempat keduanya duduk. Mr. Jeeters mengambil satu kursi lagi untuk tempat duduk baginya sendiri. Ia menyalakan sebatang cerutu besar, lalu menghembuskan asap ke arah kedua remaja itu. “Mestinya Harry sudah mengatakan apa yang kami maui,” katanya pada Bob. “Dikatakannya tadi bahwa Anda ingin mengetahui arti pesan-pesan itu.” kata Bob. Suaranya agak gemetar. “Tepat, itulah yang kami inginkan. Pesan-pesan itu merupakan petunjuk tempat penyembunyian sesuatu yang sangat berharga,” geram Mr. Jeeters. “kami tahu segala-galanya tentang bagaimana kalian sampai berhasil memperoleh pesan-pesan itu! Bagaimana kalian mengusut asal-usul weker yang menjerit, mula-mula ke Bert Clock, lalu ke Rex King — begitu pula bahwa kalian berhasil mendatangi mereka yang dititipi pesan Bert Clock. Sekarang kami ingin tahu isi pesan-pesan itu.” “Aku sendiri ingin tahu makna perbuatan konyol ini — mengirimkan weker yang menjerit pada Rex King serta pesan-pesan pada yang lain-lainnya,” kata Carlos menyela. “Apa sebetulnya niat Bert?” “Cuma ia sendiri yang tahu,” kata Jerry mencampuri pembicaraan. Aku kenal betul watak Bert —jalan pikirannya suka berbelit-belit. Ia paling jago dalam menyusun rencana, lalu menyuruh orang lain melaksanakannya dan menanggung resiko. Kita takkan bisa tahu dengan tepat niat sebenarnya selama kita belum berhasil menemukannya. Dan ia sekarang seolah-olah lenyap dengan begitu saja, tanpa meninggalkan jejak.” “Aku setuju dengan pendapat Jerry,” kata Mr. Jeeters dengan nada masam. "Tak ada gunanya menebak-nebak niat Bert yang sebenarnya. Sekarang ini kita pusatkan saja perhatian pada barangnya. Nah — sekarang jangan buang waktu lagi,” katanya pada Bob. “Apa isi pesan-pesan itu?" Bob terkesiap. “Yah — pesan pertama,” katanya sambil meneguk ludah, bunyinya begini. Kusarankan kau lihat buku.’ Cuma itu saja. Cuma satu kalimat itu saja.” "Kusarankan kaulihat buku.’ Hm,” gumam Mr Jeeters. Ia menggigit-gigit bibir bawahnya. “Baiklah. Lalu buku apa yang dimaksudkan dengannya?” “Entah—dalam pesan itu juga tidak dikatakan.” “Mungkin ada dalam pesan selanjutnya.” Mr. Jeeters nampak mulai tidak sabar. “Apa isi pesan yang kedua?” "Tidak tahu, karena kami belum sempat mengulasnya,” kata Bob sambil meneguk ludah sekali lagi. “Kami tadi sudah capek sekali. Jadi kami undurkan penanganannya sampai besok.” “Awas — jangan coba-coba berbohong padaku!” tukas Mr. Jeeters dengan nada mengancam. "Aku ingin tahu bunyi pesan yang kedua!” "Sungguh, aku benar-benar tidak tahu!” jawab Bob. “Kami tadi belum sempat mengupasnya. Maksud kami, akan langsung meneruskannya besok pagi-pagi!” “Mungkin ia memang tidak bohong,” kata Carlos menengahi. “Mungkin juga.” kata Mr. Jeeters dengan jengkel. “Itu mungkin saja. Baiklah — kalau begitu kita teruskan dengan pesan ketiga, yang berupa deretan angka-angka. Sepotong daripadanya ada padaku, yang tidak berhasil dirampas anak gendut kawanmu itu dari tangan Carlos.” Ia mengeluarkan kertas yang robek sepotong dari kantungnya, lalu mengacungkannya ke depan hidung Bob. - “Apa makna angka-angka ini?” “Aku tidak tahu,” kata Bob berterus terang. “Jupiter juga sama saja.” Tampang Mr. Jeeters saat itu menyeramkan sekali. Tapi rupanya ia terpaksa percaya bahwa Bob memang mengatakan yang sebenarnya. Kedua teman sekomplotannya juga begitu. “Kita sebenarnya harus menunggu dulu,” kata Carlos. “Tapi jika kita menunggu, lalu anak-anak yang suka campur tangan ini menemukan tempat penyembunyian itu dan memanggil polisi, kita takkan bisa berbuat apa-apa lagi. Yang menjadi persoalan sekarang — apa yang harus kita lakukan sesudah ini?” “Jelas bahwa kita perlu berusaha mendapatkan pesan-pesan yang lain itu,” kata Mr. Jeeters menggerutu.“Jika mereka ini bisa menguraikannya, kita pasti juga mampu. Asal pesan-pesan itu bisa kita kuasai, selanjutnya beres. He kau,” sergahnya pada Bob, “ada pada siapa sekarang kertas-kertas itu?” “Jupiter Jones yang menyimpan semuanya.” kata Bob. “Tapi sekarang ia sudah tidur,” “Kalau begitu kita bangunkan dia,” kata Mr. Jeeters geram. “Aku punya akal bagus! Kita pancing temanmu yang gendut itu agar datang kemari. Lalu bersama-sama kita menguraikan rahasia pesan-pesan selebihnya.” “Tapi menurutmu, bagaimana kita bisa memancingnya agar datang?” tanya Carlos sambil berpikir-pikir. “Ia pasti sayang pada temannya ini,” kata Mr Jeeters sambil menggerakkan tangan menunjuk Bob. “Tentu ia tidak ingin dia ini mengalami sesuatu yang tidak enak. Aku yakin, ia pasti akan mau sekali mengantarkan pesan-pesan itu kemari. Betul, kan?” katanya setengah bertanya pada Bob. “Aku tidak tahu,” jawab Bob lesu. Semula ia memperkirakan akan dibebaskan kembali bersama Harry, apabila Mr. Jeeters serta yang dua lagi sudah benar-benar yakin bahwa ia tidak tahu lebih banyak. Tapi kini mereka malah bemiat hendak mencekal Jupiter pula! “Aku yakin ia pasti mau,” kata Mr Jeeters lagi. ‘Bagi kami hasilnya sama saja, cuma akan makan waktu sedikit lebih lama. Sekarang pertama-tama kita harus mengusahakan agar ayah-ibumu tidak bingung karena kau belum pulang sampai sekarang. Kautelepon mereka. Katakan, malam ini kau menginap di rumah Jupiter Setelah itu kautelepon anak gendut itu. Katakan jika ia masih ingin melihatmu lagi dalam keadaan selamat, ia harus mematuhi perintah tanpa bilang apa-apa pada orang lain. Jerry! Ambilkan telepon untuknya!” Bekas joki itu meraih pesawat telepon yang ada di meja kerja, lalu menyodorkannya pada Bob. “Nih!” katanya dengan kasar. “Tidak - aku tidak mau menelepon siapa-siapa!” kata Bob. la memaksa dirinya bersikap tegar. “Tadi aku sudah mengatakan semua yang kuketahui. Jadi —jadi—” Ia meneguk ludah untuk menghilangkan rasa gugup, lalu melanjutkan, “jadi habis perkara!” “Jerry.” Mr. Jeeters melirik sebentar ke arah meja bengkel. “Kulihat di situ ada alat pengelas. Tolong nyalakan, lalu bawa kemari.” Laki-Iaki bertubuh kecil itu melakukan apa yang disuruh. Sesaat kemudian Mr. Jeeters sudah memegang obor las yang menyala, menyemburkan lidah api berwarna kuning menyilaukan. Obor itu didekatkannya ke muka Bob. Anak itu memejamkan mata, silau melihat semburan api panas yang terasa seperti membakar muka. “Sekarang bagaimana,” kataMr. Jeeters dengan suara lirih “Kaupilih menelepon atau ingin rambutmu dicukur dengan api? Kuberi waktu lima menit untuk memilih!” Bab 16 Perjumpaan yang Tak Disangka-sangka “Jupe!” Lewat telepon yang ada di Markas Trio Detektif, Jupiter mendengar suara Bob yang bernada panik. “Gawat nih — aku perlu bantuan! “Kenapa, Bob?” tanya Jupiter tegang. “Aku berada di tangan Mr. Jeeters.” kata Bob. “Carlos dan Jerry juga ada di sini. Harry mereka culik pula.” Diceritakannya secara ringkas apa yang terjadi sebelumnya. "Aku mereka paksa menelepon orang tuaku untuk mengatakan bahwa malam ini aku menginap di rumahmu," kata Bob selanjutnya. “Kata Mr. Jeeters kau bisa saja minta izin pada paman dan bibimu untuk menginap di tempatku, lalu pergi tanpa menimbulkan kecurigaan. Katanya jika kau tidak datang membawakan pesan-pesan itu, tanpa mengatakan apa-apa pada orang lain, karni —yah, kami pasti akan merasakan akibatnya. Tapi ia bersumpah jika kau membawa pesan-pesan itu, kita semua akan segera dibebaskan, begitu apa yang dicari sudah mereka peroleh. Bagaimana, Jupe? Menurutmu, apakah kau akan melakukan seperti yang mereka minta? Mungkin lebih baik kauhubungi polisi lalu -" Bob tidak melanjutkan kata-katanya. Lewat sambungan telepon terdengar bunyi tamparan, diiringi napas tersentak. Setelah itu terdengar suara Mr. Jeeters. “Sudah kaudengar kawanmu tadi,” kata itu. “Jika kau ingin melihatnya lagi tanpa kekurangan suatu apa pun — seperti jari atau telinga misalnya — kaulakukan apa yang kukatakan sekarang ini. Setengah jam lagi kau sudah menunggu di depan tempat barang-barang bekas itu dengan membawa semua kertas yang berisi pesan. Akan kukirimkan mobil untuk menjemputmu di situ. Tapi jangan bilang siapa-siapa — mengerti?? Kalau itu kauturuti, kau akan selamat pada akhirnya nanti” “Baiklah, Mr. Jeeters,” kata Jupiter. “Aku akan mematuhi perintah. Aku akan sudah siap untuk dijemput, setengah jam lagi.” “Awas kalau tidak!” geram Mr. Jeeters. Jupiter termenung setelah itu. Ia menimbang-nimbang. Sesaat timbul niatnya untuk menelepon Pete. Tapi tidak jadi, karena menurut pertimbangannya Pete tidak usah dilibatkan tanpa perlu. Jupiter memperoleh kesan bahwa orang yang meneleponnya tadi tidak main-main. Jika pesan-pesan sudah ada padanya lalu dengannya ia berhasil menemukan barang misterius yang dicari-cari, memang tidak ada alasan baginya untuk tidak membebaskan mereka. Jupiter memasukkan kedua kertas berisi pesan yang sudah berhasil diuraikan serta sepotong lagi yang robek dan belum diketahui isinya ke kantung kemejanya. Lalu sebelum meninggalkan tempat itu lewat Lorong Dua, dituliskannya pesan yang berbunyi, “Cari kami di kamar tempat kumpulan jam” di secarik kertas yang diletakkannya di atas meja. Pesan itu — yah, untuk berjaga-jaga saja, karena ia yakin bahwa teka-teki yang sedang dihadapi pasti berkisar sekitar kamar jam itu. Ia merangkak keluar lewat Lorong Dua, lalu melanjutkan langkah menuju Gerbang Hijau Satu. Ketika ia sampai di situ tahu-tahu ada bayangan gelap muncul dari timbunan barang bekas serta menyelinap ke arahnya. Jupiter cepat sekali daya reaksinya. Ia melompat ke papan Gerbang Hijau Satu. Maksudnya hendak menerobos ke luar. Tapi ternyata ia masih kalah cepat. Dadanya didekap lengan yang kekar, sementara mulutnya disekap sehingga ia nyaris tidak bisa bernapas. Didengarnya suara berbisik dengan nada mengejek dekat telinganya, “Nah — berjumpa lagi kita sekarang. Dan kali ini aku yang mengatur permainan.” Suara itu berlogat Prancis, walau tidak begitu kentara. Jupiter langsung mengenalinya. Orang itu Hugenay, pencuri lukisan kelas kakap! Trio Detektif, sudah pernah berurusan dengan orang Eropa yang perlente dan cerdik itu. Takkan mungkin Jupiter bisa lupa padanya! Ia masih tetap agak merasa seram apabila teringat pada pekuburan tua berselimut kabut, di mana ia bersama Pete jatuh ke tangan orang itu. Jupiter bergidik. “Rupanya kau memang masih ingat padaku,” bisik Hugenay. “Jadi kautahu bahwa aku tidak bisa dipermainkan. Kau akan kulepaskan sekarang — lalu kita berbicara sebentar! Tapi jangan berbuat yang aneh-aneh! Aku tidak suka mengancam. Tapi jika kau mencoba berteriak, aku akan terpaksa — membungkammu!” Dalam keadaan disekap begitu, Jupiter memaksa diri mengangguk. Hugenay kelihatannya puas atas jawaban itu. Dilepaskannya tangannya yang menyekap mulut Jupiter yang berusaha menoleh. Nampak wajah laki-laki yang masih mendekapnya, diterangi sinar lampu yang remang-remang di situ. Hugenay tersenyum tipis. “Kau nampaknya heran melihat aku lagi." kata orang Prancis itu dengan suara lirih. “Padahal seharusnya kau tahu, jika ada urusan menyangkut lukisan curian bernilai setengah juta dollar. Hugenay pasti akan muncul,” “Lukisan curian?” tanya Jupiter heran. “Jadi itukah yang ramai dicari-cari oleh berbagai pihak selama ini?” “Kau tidak tahu?” Sekarang Hugenay yang kelihatan tercengang. "Lima lukisan berharga yang nilai keseluruhannya sekitar setengah juta dollar lenyap sejak dicuri lebih dari dua tahun yang lalu — itulah yang kukejar saat ini. Kau pasti tahu pula, karena kalau tidak untuk apa ikut-ikut sibuk?" “Kami sedang menyelidiki misteri sebuah weker yang bisa menjerit,” kata Jupiter. "Pengusutan yang kami lakukan menghasilkan beberapa petunjuk yang menyebabkan timbul dugaan bahwa ada sesuatu barang berharga yang disembunyikan. Tapi aku tidak tahu barang apa." "0 ya, weker itu,” kata Hugenay. “Aku juga bertanya-tanya mengenainya. Aku sudah membongkarnya." “Jadi Anda rupanya yang mencurinya?” tanya Jupiter. “Anda yang mengejar Bob dan Harry kemarin?” “Betul,” kata Hugenay. “Aku juga menyuruh orang membuntutimu, tapi dasar goblok — mereka kemudian kehilangan jejak. Aku mengambil weker itu ketika petugas polisi itu dengan baiknya menggiring kawan-kawanmu masuk ke kantor polisi, dan mereka meninggalkan barang itu dalam mobil yang diparkir di luar, Aku sudah membongkarnya untuk mencari-cari petunjuk yang mungkin saja tersembunyi atau diukirkan di dalamnya. Tapi sia-sia saja— aku sama sekali tidak menemukan apa-apa. Jadi sekarang aku perlu sekali mengetahui apa isi pesan-pesan yang berhasil diperoleh kelompokmu yang pintar itu” “Untuk apa aku mengatakannya?" kata Jupiter yang sementara itu sudah pulih ketabahannya. “Jika aku sekarang menjerit, dengan segera Hans dan Konrad sudah akan ada di sini dan Anda akan habis dihajar keduanya.” Hugenay terkekeh pelan. “Aku senang pada anak yang berani.” katanya. “Tapi jangan sampai nekat. Aku tidak sendiri, dan — Tapi untuk apa mengancam? Aku menawarkan imbalan bagi kesediaanmu bekerja sama. Bantu aku, nanti kau akan kutolong.” “Menolongku dengan cara bagaimana?” “Pemuda bernama Harry yang kaujumpai di rumah Bert Clock waktu itu — ayahnya saat ini kan ada dalam penjara. Aku bisa membantumu membuktikan bahwa orang itu tidak bersalah. Aku memperoleh lukisan-lukisan itu — sedang kau akan bisa membebaskan orang yang tidak bersalah dari penjara. Masa kesempatan itu kau tolak?” Jupiter berpikir dengan cepat. Kemudian ia mengangguk. “Baiklah — jika Anda mau begitu. aku bersedia menolong. Tapi masih ada satu hal lagi yang harus Anda lakukan.” “Apa itu, Sahabat mudaku yang gemuk tapi pintar?" Jupiter menceritakan apa yang terjadi terhadap diri Bob serta situasi yang dihadapi saat itu, yaitu bahwa dalam waktu tak sampai setengah jam lagi ia akan dijemput dengan mobil, lalu dibawa ke tempat di mana Bob dan Harry berada dalam kekuasaan Mr. Jeeters beserta kawan-kawannya. Hugenay mengumpat-umpat dalam bahasa Prancis. "Tak kusangka manusia-manusia goblok itu akan beraksi begini cepat, tukasnya. Rencanaku semula hendak menyambar lukisan-lukisan itu lalu pergi sebelum mereka sempat berbuat apa-apa!” “Jadi Anda tahu tentang mereka?” tanya Jupiter heran. “Tentu saja. Aku tahu jauh lebih banyak dan yang bisa kauduga. Aku sudah dua minggu ada di kota ini, mencari-cari petunjuk yang bisa dijadikan pegangan, Aku punya —yah, katakanlah cara-cara khusus. Anggap saja sambungan telepon orang-orang itu sudab kusadap sehingga segala pembicaraan nereka yang rahasia bisa kuketahui, Tapi itu anggapanmu — aku sendiri tidak mengatakan itu benar atau tidak. Namun sekarang rupanya ada perubahan dalam rencana mereka. Kita harus menggagalkan rencana itu. “Ya, aku akan menolongmu menyelamatkan kawan-kawanmu, lalu kita mencari lukisan-lukisan itu sampai ketemu, dan besok malam — kira-kira saat seperti ini — aku akan sudah jauh dari sini. Sekarang kau harus mulai dengan mematuhi instruksi rnereka. Pada saatnya nanti kau harus ada di luar, menunggu jemputan. Kau nanti ikut dengan mobil itu, sedang aku akan membuntuti dengan sembunyi-sembunyi bersama orang-orangku. Selebihnya serahkan saja padaku. Makin sedikit yang kauketahui, makin baik,” Jupiter sadar bahwa tidak ada pilihan lain kecuali mempercayai Hugenay. Ia menyelinap ke luar lewat Gerbang Hijau Satu lalu pulang ke rumah. Saat itu ia agak menyesali diri. Kenapa waktu itu aku ingin mengusut weker sialan yang bisa menjerit, sesalnya dalam hati. Tapi apa boleh buat, penyesalan itu sudah terlambat. Lagi pula ia tahu bahwa Hugenay cerdik serta banyak akalnya. Ia yakin orang Prancis itu pasti akan bisa mengakali Mr. Jeeters serta kedua temannya, Jerry dan Carlos. Jupiter masuk ke rurnah di mana paman dan bibinya masih menonton televisi. Dikatakannya pada mereka bahwa Bob baru saja menelepon karena ada sesuatu yang perlu dibicarakan. Paman dan bibinya langsung mengizinkannya menginap di rumah Bob. Setelah itu Jupiter naik ke tingkat atas masuk ke kamarnya. Dipakainya jaket yang hangat, sementara kertas-kertas pesan yang semula ada di kantung kemeja dipindahkannya ke kantung jaket sebelah dalam. Setelah itu ia turun lagi. Sesudah meminta permisi serta mengucapkan selamat tidur pada Paman Titus serta Bibi Mathilda, ia pergi ke luar lalu berdiri di depan pintu gerbang muka kompleks tempat jual-beli barang-barang bekas. Hugenay sudah menunggunya di situ. Orang itu datang menghampiri. Sambil memegang bahu Jupiter ia berkata dengan bersungguh-sungguh, "lngat, ya — sekarang kita bekerja bahu membahu," katanya. "Pertama-tama kita harus membebaskan Bob dan Harry dulu. Apabila mobil yang menjemputmu nanti datang, kau harus langsung naik. Jangan tunjukkan gelagat bahwa kau tahu aku membuntuti dari belakang. Tapi jika mereka kemudian kelihatannya agak curiga, terserah pada kepintaranmu untuk mengatasi problem itu. Sekarang kau akan kutinggalkan sendiri” Laki-laki Prancis itu menghilang dalam gelap. Jupiter tidak bisa melihat, apakah ada mobil menunggu dekat situ atau tidak. Mungkin Hugenay menyuruh kendaraan itu bersembunyi di ujung seberang dan kompleks itu. Jupiter menunggu jemputan. Ia agak menggigil sedikit. Daerah yang letaknya sedikit di luar kota itu sepi sekali. Dan gelap. Tahu-tahu nampak sinar lampu membelah kegelapan. Sebuah mobil truk kecil yang tertutup rapat bergerak dengan pelan menyusur jalan. Sesaat sosok tubuh Jupiter diterangi sinar lampunya. Truk itu berhenti. Pintu terbuka dan laki-laki bertubuh kecil yang bernama Jerry menjulurkan tubuhnya ke luar. “Cepat naik!" sergahnya dengan suara serak. “Dan jangan macam-macam — demi keselamatan dirimu sendiri serta kedua temanmu!" Bab 17 Di Tangan Lawan Mobil truk kecil itu meluncur ke arah Hollywood. Kecepatannya tetap. Carlos duduk di belakang setir, sementara Jupiter terjepit di tengah antara orang itu dan Jerry. “Kau bawa pesan-pesan itu?" tanya Carlos pada Jupiter. “Ya, aku membawanya,” kata Jupiter. Suaranya lain dan biasanya, terdengar pelan dan takut-takut “Nah, begitu,” gumam Jerry “Sebab kalau — ada apa, Carlos?” Carlos memandang ke belakang lewat kaca spion. “Rasanya ada yang membuntuti kita, Beberapa mil yang terakhir ini kulihat mobil yang itu-itu juga di belakang kita!" “Apa? Dibuntuti?" kata Jerry kaget lalu menyentakkan jaket Jupiter. “Sobat, jika kau memberi tahu polisi -" "Tidak! Aku tidak bilang pada siapa-siapa!" Suara Jupiter terdengar ketakutan, dan itu tidak seluruhnya dibuat-buat. Lawan ternyata melihat mobil Hugenay, dan sebagai akibatnya seluruh rencana bersama orang Prancis itu terancam akan gagal. “Kalau bukan polisi, lantas siapa?” desak Carlos “Cepat jawab! Jangan mengulur-ulur — itu tandanya kau bohong!" “Jika ternyata benar ada yang membuntuti kita,” kata Jupiter cepat-cepat, “itu berarti ada orang lain yang juga menghendaki pesan-pesan itu. Weker yang menjerit kemarin sudah dicuri orang. Jika bukan kalian yang mengambil, artinya ada orang lain yang menaruh minat. Dan bisa saja orang itu mengamat-amati tempat tinggalku tadi, lalu ia melihat kalian menjemputku. Tentu saja kini ia ingin tahu ke mana aku dibawa pergi.” "Itu dia jawabannya!” seru Jerry. “Harry memang ada bercerita tentang weker itu pada Jeeters. kurasa anak ini benar. Ada orang lain yang juga berusaha menemukan barang itu. Kita harus berusaha melepaskan diri dan kejaran orang itu, Carlos!” “Serahkan saja itu padaku,” kata Carlos geram. “Satu mil lagi di depan ada jalan bebas hambatan. Aku akan ke situ. Biar saja orang itu berusaha membuntuti kita terus nanti!” Ia menjalankan mobil itu dengan kecepatan sama selama beberapa menit selanjutnya. Kemudian ketika sudah dekat ke jalan bebas hambatan ia menambah kecepatan. Truk kecil itu meluncur di atas ruas jalan masuk dan sesaat kemudian sudah berada di tengah keramaian kendaraan yang meluncur dengan laju menuju Hollywood. Jalan-jalan bebas hambatan di sekitar Los Angeles dan Hollywood merupakan jaringan jalan raya beton yang menghubungkan Los Angeles dengan tempat-tempat lain di lingkungannya. Sepanjang hari arus kendaraan tidak henti-hentinya meluncur di situ. Keadaannya selalu ramai sekali, sampai larut malam. Mobil truk yang dikemudikan Carlos sudah masuk ke jalan berjalur enam, yang semuanya dipenuhi kendaraan bermotor yang melaju dengan kecepatan tinggi. Carlos menginjak pedal gas. Dengan cekatan dijalankannya mobil, berulang kali menyalip kendaraan lain yang lebih lambat. Mobil yang membuntuti dalam beberapa menit saja pasti sudah jauh tentinggal, terjepit di antara mobil dan truk yang besar-besar. Tapi Carlos tidak mau mengambil risiko. Selama sepuluh menit mobil dijalankan dengan kecepatan tinggi, berpindah-pindah jalur dan menyalip kendaraan lain. Kemudian ia memotong ke jalur paling pinggir, lalu membelok dengan tajam memasuki jalan ke luar. Ketika sudah sampai di jalan kota yang terdapat di bawah, ia memperlambat jalan truk. Matanya meneliti dengan waspada lewat kaca spion. Kelihatannya ia puas, karena sikapnya berubah menjadi santai. “Tidak ada yang menyusul kita ke luar,” katanya. "Jika tadi memang ada yang membuntuti, kini ia pasti sudah kehilangan jejak.” Truk itu berjalan lagi dengan kecepatan normal. Jupiter makin lama makin lesu perasaannya. Ia tadi mengandalkan adanya bantuan dari Hugenay. Tapi kini orang Prancis itu kehilangan jejak, sehingga tidak bisa diharapkan lagi. Truk memasuki semacam lorong di antara dua buah rumah tua. Di ujung belakang ada garasi besar yang muat untuk dua mobil. Carlos membunyikan tuter. Dengan segera pintu sorong garasi bergerak ke atas. Truk masuk ke dalam, lalu pintu langsung diturunkan kembali. Carlos dan Jerry turun sambil mendorong Jupiter. Remaja itu melihat Mr. Jeeters berdiri menunggu. Di belakangnya nampak Bob dan Harry dalam keadaan terikat di kursi. “Ada kesulitan?” tanya Mr. Jeeters. “Kalian agak terlambat.” “Tadi ada orang membuntuti,” kata Caries melaporkan. "Kami terpaksa membuang waktu sedikit untuk melenyapkan jejak. Anak ini berani bersumpah bahwa mereka pasti bukan polisi. Mungkin yang mencuri weker kemarin. Pokoknya siapa pun orangnya, kami berhasil melepaskan diri.” “Bagus.” Mr. Jeeters memaku Jupiter dengan tatapan matanya. “Aku yakin kawan muda kita ini sama sekali tidak bodoh — jadi takkan mau berbuat macam-macam. Baiklah — sekarang mana pesan-pesan itu? Serahkan padaku!” Jupiter merogoh kantung, mengambil secarik kertas “Ini isi pesan pertama, Mr. Jeeters.” Mr. Jeeters menerima kertas itu lalu membaca kalimat yang tertulis di situ. ‘Kusarankan kaulihat buku’ Ya, tentang yang ini sudah dikatakan kawanmu tadi. Buku apa yang dimaksudkan di sini?” “Entah — aku juga tidak tahu.” “Kalau begitu bagaimana bunyi pesan kedua?” “Ini dia pesannya. Anda baca saja sendiri.” Mr. Jeeters mendengus. “Hanya satu kamar di mana Bapak Waktu mendengung” katanya sambil membaca kalimat itu. “Apa lagi makna kalimat ini?” “Menurut kesimpulanku, artinya kamar di rumah Mr. Cock di mana terdapat kumpulan jam listrik yang bunyinya mendengung.” “Ya, betul — tentu saja itu yang dimaksudkan! Tapi kamar itu sudah kuperiksa seluruhnya. Aku sudah memeriksa kalau-kalau ada dinding kayu yang bisa digeser atau tempat penyimpanan rahasia. Tapi aku tak menemukan apa-apa. Sekarang serahkan dulu potongan kertas yang berisi pesan ketiga. Separuhnya lagi ada padaku,” kata Mr. Jeeters sambil menunjukkan secarik kertas robek. Ketika Jupiter sedang merogoh kantung, tahu-tahu terjadi gangguan yang tak terduga sebelumnya, berupa bunyi kaca pecah berantakan. Jendela kiri dan kanan garasi didobrak dan luar, menyebabkan kerai yang menutupi terlempar ke atas. Sedetik kemudian dua sosok tubuh berpakaian seragam polisi memanjat masuk lewat jendela-jendela itu. Keduanya menggenggam pistol otomatik yang diacungkan ke arah Mr. Jeeters, Carlos, dan Jerry. “Angkat tangan!” bentak polisi yang paling dulu masuk. “Cepat — jangan macam-macam lagi!” “Polisi!” seru Jeny kaget. Carlos menggumamkan sesuatu dalam bahasa Spanyol. Jupiter serta kedua remaja lainnya yang ada di situ tidak bisa berbahasa itu, tapi mereka bisa menduga apa yang dikatakan. “Jangan bergerak! Ayo, angkat tangan!” perintah polisi yang kedua. “Kalian tidak bisa lari lagi!” Jerry dan Carlos mengangkat tangan lambat-lambat. Mr. Jeeters bergerak mundur sampal menyentuh meja kerja di bengkeL Sesaat nampak seolah-olah ia mencari-cari senjata di belakangnya. Polisi yang pertama masuk mengacungkan pistol ke arahnya. “Kau juga!" bentaknya. “Kau — he! Apa yang kaulakukan itu? Bau apa ini. yang terbakar?" “Ia membakar pesan-pesan itu!” seru Jupiter. Obor pengelas masih menyemburkan nyala api kecil, dan Mr. Jeeters ternyata menggunakannya untuk membakar kertas-kertas pesan yang langsung hangus menjadi abu. “Sekarang uraikanlah teka-teki itu kalau masih bisa,” ejek Mr. Jeeters dengan sikap puas. “Kedua pesan pertama masih bisa kuingat” kata Jupiter. "Tapi jika kertas dengan angka-angka ikut terbakar, aku tidak melihat kemungkinan akan bisa mengetahui apa yang hendak dikatakan oleh Mr. Clock” “Putar saja otakmu sekarang, sampai pusing,” kata Mr. Jeeters sambil tertawa. ia berpaling, menatap Carlos dan Jerry. “Tolol!” desisnya. “Kalian katakan tadi, kalian berhasil melenyapkan jejak Si Gendut ini ternyata menghubungi polisi, dan kalian membiarkan mereka membuntuti kalian sampai kemari “Tapi aku sama sekali tidak menghubungi polisi!” kata Jupiter dengan cepat. Ia pun ikut tercengang menghadapi perkembangan baru itu. “Awasi mereka terus, Joe,” kata polisi yang pertama. Kemudian ia melangkah ke pintu garasi dan membukanya. Seorang laki-laki berpotongan perlente masuk. Pintu garasi ditutup kembali. Orang yang baru masuk itu berdiri sambil tersenyum ke arah kelompok yang ada dihadapannya. ‘Well, well,’: katanya. “Bagus! Situasi di sini kelihatannya beres sepenuhnya.” Jupiter terbeliak. “Mr. Hugenay!” ucapnya kaget. Bab 18 Kembali ke Kamar Jam “Betul,” kata Hugenay. "Ini memang aku, Hugenay, yang menyibukkan polisi di tiga benua. Masa kau menyangka aku mau membiarkan manusia-manusia dungu seperti mereka ini mengalahkan aku?" Mr. Jeeters dan begitu pula kedua temannya kelihatannya mengenal nama yang disebut, karena mereka langsung nampak kecut dan gugup. Tapi ketiganya tetap membisu, menunggu perkembangan selanjutnya. “Tapi —“ kata Jupiter tergagap, “Mereka tadi kan berhasil meninggalkan Anda di tengah keramaian lalu lintas jalan bebas hambatan! Anda tidak mungkin masih bisa membuntuti terus!” “Aku sudah berjaga-jaga menghadapi kemungkinan itu,” kata Hugenay dengan santai. Ia menghampiri Jupiter lalu merogoh kantung jaket remaja itu. Dikeluarkannya sebuah benda berbentuk kecil dan pipih. "Ini alat isyarat elektronik,” katanya sambil mengacungkan benda itu. “Tanpa kausadari, aku tadi memasukkannya ke kantungmu. Dalam mobilku ada pesawat penerima yang disetel ke gelombang yang dipancarkan. Aku tinggal mengikuti bunyinya. Bahkan di tengah lalu lintas ramai tadi aku masih bisa mengikuti. Aku juga tahu kapan truk membelok. Aku memang memerlukan beberapa menit untuk mengikuti jejak bunyi sampai ke garasi ini. Tapi begitu sudah kutemukan, aku tinggal mengerahkan pembantu-pembantuku untuk beraksi.” “Mr. Hugenay!” seru Bob yang masib terikat ke kursi dan yang menatap orang Prancis itu sejak saat masuk tadi. “Jadi Anda yang mengejar kami kemarin lalu mengambil weker itu?!” “Aku mengaku bersalah,” jawab Hugenay sambil membungkukkan badannya sedikit. “Tapi aku tidak berniat jahat. Aku — katakanlah hanya ingin menolong kalian mencari! Tapi sekarang bukan waktunya untuk mengobrol, walau senang juga rasanya berjumpa lagi dengan kenalan lama, Ia berpaling pada kedua polisi yang masuk dengan tiba-tiba tadi. “Borgol ketiga orang ini ke tiang sana.” Di tengah garasi ada tiang besi yang merupakan penunjang atap. Mr. Jeeters, Jerry dan Carlos yang gentar menghadapi pistol yang dipegang polisi berdiri membelakangi tiang itu, sementara seorang polisi memborgol pergelangan tangan mereka. Pergelangan kanan masing-masing diborgolkan ke pergelangan tangan kiri teman yang di sebelah, sehingga ketika polisi selesai, ketiga penjahat itu membentuk lingkaran membelakangi tiang. Mereka tidak bisa ke mana-mana lagi. “Bagus,” kata Hugenay. “Sekarang kita lanjutkan urusan kita.” “Tunggu dulu, Hugenay.” Orang yang berbicara itu Mr. Jeeters, dengan suara diramah-ramahkan. “Kenapa kita tidak bergabung saja? Jika kita bersama-sama, mungkin barang itu akan bisa lebih cepat ditemukan.” “Aku sudah tahu semua yang kauketahui,” kata Hugenay mengentengkan. “Kau mencoba menduluiku, dan untuk itu kau harus menderita. Lagi pula, seperti kaulihat sendiri sekarang, aku bekerja sama dengan polisi. Coba bebaskan dulu para remaja itu,” katanya pada kedua polisi yang menyertainya, “dan setelah ini kita pergi ke kamar perpustakaan Bert Clock” Beberapa saat kemudian mereka berenam sudah duduk dalam mobil besar berwarna hitam yang bergerak menyusur jalan-jalan di Hollywood dengan kecepatan biasa. Hugenay tertawa sendiri. “Kau pasti sudah tak mengira akan melihatku lagi,” katanya pada Jupiter yang duduk di sampingnya. “Memang,” kata Jupiter terus-terang. “Apalagi setelah polisi tahu-tahu mendobrak masuk lewat jendela. Aku sama sekali tak menduga bahwa Anda bekerja sama dengan polisi.” Hugenay tertawa lagi. Rupanya ada sesuatu yang menyebabkan ia geli. “Polisi?” katanya. “Aku cuma menyewa dua setel pakaian seragam polisi di di toko penyewaan kostum — dan dengan seketika aku punya pembantu dua orang polisi. Jangan terlalu cepat percaya pada apa yang kaulihat, Nak!” Jupiter terkejut. Ternyata ia tertipu — persis seperti yang dialami Carlos beserta kedua kawannya. Mau tidak mau, ia semakin mengagumi Hugenay. “Harry,” kata Jupiter pada remaja yang duduk terjepit di sampingnya, “kita ini bekerja sama dengan Mr. Hugenay. Aku tadi mau apabila ia bersedia membantu membebaskan kalian berdua. Sekarang itu sudah dilakukannya. la juga mengatakan akan berbuat satu hal lagi — yaitu membuktikan bahwa ayahmu tidak bersalah.” “Betul?” seru Harry. “Wah — hebat kalau begitu!” “Soal itu mudah, Nak,” kata Hugenay. “Akan kuceritakan sebentar seluk-beluknya. Seperti mungkin sudah kalian duga juga, Mr. Bert Clock yang dulunya aktor itu sebenarnya otak yang mendalangi komplotan pencuri benda-benda seni, yang selama beberapa tahun beraksi di daerah sekitar sini, mencuri lukisan-lukisan mahal dan rumah orang-orang film yang berada dan yang tidak cukup baik penjagaannya.” “Ya, mestinya memang begitu!” kata Bob. “Itu rupanya yang menjadi sebab, kenapa Mr. Clock menukar namanya beberapa tahun yang lalu! Pantas tingkah lakunya misterius. Rupanya karena ia pencuri. Aku berani bertaruh, pasti dia yang mencuri lukisan yang disembunyikan di bawah alas lantai dapur rumah yang ditempati keluarga Harry” “Mungkin bukan dia sendiri yang mencurinya,” kata Hugenay. “Untuk itu ada orang-orangnya, Satu di antaranya Jerry yang bekas joki. Sebagai pencuri dipakainya beberapa orang joki. Mereka bertubuh kecil, jadi bisa dengan mudah menyusup masuk lewat jendela. Lukisan-lukisan hasil curian itu kemudian dijualnya pada orang-orang Amerika Selatan pengumpul lukisan yang takkan memamerkan benda-benda itu pada orang lain. Sedang yang dijadikan penghubung dengan mereka adalah Carlos. Beberapa tahun yang lalu dicuri sejumlah lukisan yang temyata tidak bisa disalurkan lebih lanjut. Dua orang Amerika Selatan yang merupakan langganan yang paling baik ditangkap karena terlibat dalam usaha penggulingan kekuasaan yang gagal di negeri mereka. Karenanya Bert Clock terpaksa menyembunyikan dulu lukisan-lukisan itu. Pada anak buahnya dikatakan bahwa barang-barang itu akan dijual kemudian, jika sudah datang saatnya yang tepat. Tapi Bert tidak menunjukkan sikap akan segera bertindak. Karenanya Jerry dan Carlos lalu memutuskan untuk bertindak sendiri. Mereka mencuri tiga lukisan. Lukisan-lukisan itu dibawa ke Bert Cock untuk dijualkan, sambil menuntut kelima lukisan ya, jumlahnya lima — yang selama itu masih disembunyikan. Tapi hidup ini penuh dengan kejadian yang bersifat kebetulan. Saat itu polisi yang mengusut peristiwa pencurian lukisan yang terakhir ternyata mengarahkan perhatian pada seseorang yang tinggal di rumah Bert Cock. Orang itu ayahmu, Harry. Bert ketakutan. Ia khawatir, jangan-jangan polisi nanti mengetahui rahasianya. Karena itu ia lantas menyembunyikan ketiga lukisan yang terakhir dicuri di suatu tempat yang mudah ditemukan polisi, dan yang akan memberatkan tuduhan terhadap ayahmu.” “Ia dengan sengaja menyebabkan ayahku ditangkap dengan tuduhan palsu!” kata Harry getir. “Padahal aku dan ibuku selama mi menganggapnya orang baik!” “Betul, ia memfitnah ayahmu, Harry. Lalu tidak lama sesudah itu ia menghilang. Kurasa sebabnya karena ia merasa terdesak oleh Carlos dan Jerry, dan mungkin juga oleh Jeeters itu. Ia tidak berani mengeluarkan lukisan-lukisan curian dari tempat penyembunyian barang-barang itu. Jadi ia lantas lari menyembunyikan diri ke Amerika Selatan. Tidak ada yang tahu di mana ia berada kecuali aku. Aku punya hubungan di mana-mana. Ini jika aku boleh menyombong sedikit. Aku menghubunginya, dengan usul agar biar aku saja mengurus penjualan lukisan-lukisan itu. Aku bisa berbuat begitu karena sebelumnya sudah kupelajari segala gerak-geriknya. Tapi Bert Cock tidak mau menerima tawaranku, ia saat itu sedang sakit. Bahkan sudah hampir mati. Ia merasa bersalah terhadap ayahmu, Harry. Ia mengirimkan jam weker yang menjerit serta sejumlah pesan tertentu pada kawan-kawan lamanya. Tidak lama setelah itu ia meninggal dunia.” “Tapi untuk apa dikirimnya pesan-pesan serta weker itu, Mr. Hugenay?” tanya Bob. “Apakah tidak lebih menggampangkan urusan jika ia menulis surat pengakuan pada polisi?” “Bert Clock dari dulu memang berbelit-belit jalan pikirannya,” kata Hugenay. “Ia mengambil tindakan seperti yang dilakukannya karena ada alasan tertentu. Mungkin kita akan bisa mengetahuinya apabila sudah berhasil menguraikan makna pesan-pesan aneh itu.” “Tapi kertas-kertasnya tadi dibakar Mr. Jeeters,” kata Jupiter mengingatkan. “Padaku cuma tinggal robekan kertas yang terisi pesan ketiga.” “Tapi tentu kau masih ingat bagaimana bunyi pesan-pesan itu,” kata Hugenay agak gugup. “Cuma kedua pesan pertama." kata Jupiter, “sedang yang ketiga melulu terdiri dan angka-angka saja. Tak mungkin aku bisa mengingat semuanya. Lagi pula aku hanya melihatnya sekali — setelah itu aku berebutan dengan Carlos sehingga yang separuh waktu itu masih ada di tangannya. Kalau pesan pertama bunyinya begini. ‘Kusarankan kaulihat buku.’ Sedang yang kedua, ‘Hanya satu kamar di mana Bapak Waktu mendengung.” “Buku?” Kening Hugenay berkerut. “Buku yang mana, ya? Kalau ‘kamar di mana waktu mendengung’ —. kurasa itu mudah saja menafsirkannya. Hanya satu kemungkinan yang ada, yaitu kamar yang banyak jamnya. Dari semula sudah kuduga bahwa dari situlah kita harus mulai mencari. Nah, kita sudah sampai di tempat tujuan. Nanti kalau sudah di dalam kita lanjutkan pemikiran kita.” Mobil berhenti dan diparkir di pinggir trotoar. Mereka semua turun lalu berjalan menuju ke rumah Bert Clock. Harry membukakan pintu, lalu pergi mencari ibunya sambil berseru-seru memanggil namanya. Saat itu terdengar bunyi gedoran pada pintu kolong rumah yang dikunci. Harry bergegas-gegas membukakan. “Aduh, syukur kau datang, Harry!” kata Mrs. Smith sambil keluar. “Jahat sekali Mr. Jeeters itu! Ia bersama kedua kawannya mengurungku dibawah. Kata mereka aku harus tetap di situ sampai mereka kembali lagi. Eh — kau datang bersama polisi rupanya. Aku minta agar penjahat-penjahat itu ditangkap sekarang ini juga!” “Mereka sudah ditangani, Madam,” kata Hugenay sambil mengayunkan tubuhnya memberi hormat, “Kami kemari ini karena ada urusan yang sangat penting bagi Anda.” “Perkenalkan Bu, ini Mr. Hugenay!” kata Harry bergairah. “Katanya, ia bisa membuktikan bahwa Ayah tidak bersalah.” "Betul begitu? Syukurlah.” kata ibunya gembira. “Untuk itu kami minta izin masuk ke kamar perpustakaan Mr. Cock — atau Mr. Hadley, yang mungkin lebih Anda kenal,” kata Hugenay. “Di situ nanti kami mungkin akan terpaksa menyebabkan adanya beberapa kerusakan. Tapi dapat saya tegaskan bahwa itu perlu, guna bisa membuktikan suami Anda tidak bersalah. Bisakah Anda mengizinkan kami?” “Ya, ya, tentu saja. Terserah!” kata Mrs. Smith dengan senang. “Bongkar saja seluruh rumah ini, apabila itu perlu untuk membersihkan nama Ralph.” “Terima kasih. Sekarang saya minta Anda bersama Harry dan Bob tinggal di luar, sementara saya bersama anak buah saya bekerja dalam kamar itu. Harap Anda tidak menghubungi siapa-siapa. Jika ada telepon, jangan jawab. Bagaimana — setuju?" “Tentu saja. Aku akan menunggu di dapur bersama mereka berdua. Kami akan makan karena sejak berjam-jam perutku tak ada isinya. Silakan, Mr. Hugenay.” “Terima kasih,” kata Hugenay, lalu berpaling pada Jupiter. “Kita ke perpustakaan.” Sementara itu Pete sedang menonton televisi bersama ayahnya di rumah. Ia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang pengalaman seru yang dialami Bob dan Jupiter. Pete merasa agak sulit memusatkan perhatiannya pada cerita detektif yang sedang ditonton. Ia masih memikirkan teka-teki yang menyangkut Mr. Clock dengan wekernya yang aneh itu. Akhirnya ketika film selesai ia bertanya pada ayahnya. Mr. Crenshaw adalah orang film yang bekerja di bidang teknik. Ia sering bepergian ke berbagai tempat di seluruh dunia, ikut membuat film. “Apakah aku kenal Bert Clock?" katanya sebagai jawaban atas pertanyaan Pete. “Ya, tentu saja kenal! Tapi tidak kenal baik. Kami pernah sama-sama bekerja membuat film. Wah — dia itu hebat sekali jeritannya! Berdiri bulu tengkuk mendengarnya. Ada satu film — film tua, kurasa ada dua puluh tahun yang lewat — di mana ia menerapkan suatu teknik yang sangat menarik” “Teknik?” Pete meraih kentang goreng kering dari mangkuk yang terletak di atas meja lalu mengunyahnya. Ia paling suka kentang goreng. “Teknik macam mana?” “Apa?” tanya ayahnya yang sementara itu sudah asyik lagi mengikuti acara selanjutnya. Pete mengulangi pertanyaannya. Ayahnya yang sudah terbenam dalam film cowboy yang menegangkan menjawab secara sambil lalu. Tapi Pete terkejap mendengarnya. Itu satu hal yang tidak diketahui Jupiter, katanya dalam hati. Pete sendiri tidak tahu apakah, itu ada sangkut pautnya dengan misteri yang sedang diusut, tapi Jupiter biasanya ingin mengetahui apa saja mengenai kasus yang sedang ditangani. Mungkin sebaiknya ia menelepon saja sekarang untuk menyampaikan informasi itu, walau ada kemungkinan Penyelidik Pertama saat itu sudah tidur. Pasti ia mau bangun kalau ada urusan penting? “Wah, malam sudah larut rupanya,” ujar Mr. Crenshaw dengan tiba-tiba. “Kau harus tidur sekarang, Nak. Ayo naik ke atas. " “Oke?" kata Pete lalu naik ke atas tanpa menelpon lagi. Besok urusan itu disampaikan pada Jupiter. Bab 19 Pencarian yang Sia-sia Hugenay langsung sibuk, begitu mereka sudah masuk ke ruang yang penuh dengan berbagai jenis jam. Ia menyuruh kedua orangnya menutup tirai jendela. Setelah itu dinyalakannya lampu-lampu yang ada di situ. Diperhatikannya ruangan itu. “Beratus-ratus jilid buku,” gumamnya. "Tiga buah lukisan, kelihatannya barang murahan. Sebuah cermin besar. Jam, banyak sekali. Dinding berlapis panel, di balik mana mungkin ada tempat penyimpanan rahasia. Sekarang pesan-pesan tadi. Yang pertama menyuruh kita melihat buku. Pesan kedua mengarahkan kita ke kamar ini, di mana waktu mendengung. Sedang pesan ketiga — coba kulihat pesan itu Nak!" Jupiter menyodorkan potongan kertas robek yang berisi pesan ketiga. Hugenay memperhatikan deretan angka-angka yang tertulis di situ dengan kening berkerut. "Kelihatannya menunjuk pada kata-kata serta halaman-halaman tertentu dalam sebuah buku,” katanya. “Tapi sama sekali tak bermakna tanpa buku itu.” Ia menoleh pada Jupiter. “Buku yang mana, kalau menurut perkiraanmu?” "Tidak tahu,” jawab Jupiter. "Tapi kemungkinannya salah satu buku yang ada di kamar ini." "Ya, menurut pendapatku juga begitu. Coba kita periksa beberapa di antaranya.” Hugenay menghampiri rak buku yang paling dekat, mengambil beberapa buku dari situ lalu membalik- balik halaman sebentar. Sambil mendengus dikembalikannya buku-buku itu ke tempat semula. “Percuma!’ tukasnya. “Buku-buku di sini terlalu banyak. Tidak mungkin kita bisa meneliti semuanya satu per satu. Tapi pesan itu harus kita ketahui maknanya. Ayo, putar otakmu! Katanya kau kan jago kalau soal begitu.” Jupiter mencubiti bibir bawahnya, seakan-akan dengan begitu otaknya bisa bekerja lebih lancar. “Mr. Hugenay—” katanya setelah beberapa saat. "Bagaimana, Anak muda?’" "Pesan-pesan itu ditujukan pada Rex King. Ialah yang dimaksudkan harus menguraikan pesan-pesan itu, karenanya masuk akal apabila ia tahu buku mana yang dimaksudkan Mr. Clock." "Ya, tentu saja! Sekarang kita tinggal meneleponnya saja, untuk menanyakan." “Tapi ia ada di rumah sakit.” “Wah, sayang.” Wajah Mr. Hugenay yang semula sudah berseri-seri langsung kecut lagi. “Coba pikirkan jalan lain.” "Kita bisa bertanya pada istrinya. Mungkin saja ia tahu.” "Tentu saja! Itu gagasan yang bagus. Sekarang telepon dia.” “Lebih baik Bob saja yang menanyakan.” kata Jupiter, “karena waktu itu ia yang ke sana.” Jupiter pergi ke dapur, diikuti oleh Hugenay. Bob sedang minum coklat di situ bersama Harry serta ibunya, Mrs. Smith. “Ada hasil tidak, Satu?” tanya Bob. “Belum. Kau harus membantu.” Jupiter menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh Bob. Anak itu dengan segera menelepon dengan memakai pesawat yang ada dalam gang. Ia dengan segera mengenali suara Mrs. King ketika wanita itu menjawab. Bob menjelaskan tentang buku misterius yang disebut oleh Bert Clock dalam pesannya. Mungkin itu buku yang dikenal baik oleh Rex King. Mungkinkah Mrs. King tahu buku mana itu, yang begitu dikenal sehingga cukup disebut dengan ‘buku itu’ saja? “Ya, kurasa aku tahu,” jawab Mrs. King. “Dulu Bert pernah mengarang buku tentang pengalamannya di radio. Buku itu ditulis dengan bantuan suamiku. Judulnya, Jeritan Jam di Tengah Malam. Bagaimana, itu bisa membantu atau tidak?" "Tentu saja!” kata Bob bersemangat. “Terima kasih.” Dengan segera diteruskannya berita itu pada Jupiter dan Hugenay yang langsung kembali ke perpustakaan dan menutup pintu, sementara Bob kembali ke dapur untuk menunggu di situ. Ia bertanya-tanya, perkembangan apa yang akan terjadi kini. Setelah mencari-cari seberapa lama, Hugenay menyambar sebuah buku. "Ini dia,” katanya. “A Clock Screams at Midnight ‘Jeritan Jam di Tengah Malam’. Karangan Albert Clock. Nah — sekarang ada kemajuan! Mana pesan tadi. Coba kulihat sebentar — halaman 3, kata urutan nomor 27. Sekarang kucari dulu, Kau yang mencatat kata-kata yang kusebutkan.” Dicarinya halaman 3 buku itu, lalu mulai menghitung-hitung kata. “Kata itu, ‘berdirilah’ kata Hugenay sambil membaca. “Sekarang kata-kata seterusnya.” Hugenay bekerja dengan cepat, sementara Jupiter sibuk menuliskan kata-kata yang disebut. Akhirya Hugenay sampai pada urutan angka yang paling ujung pada kertas robek itu. “Itulah semua yang ada di sini,” katanya. “Sisa pesan tidak kita ketahui. Coba kaubacakan spa yang sudah kau catat tadi..” Jupiter membacakan catatannya, ‘Berdirilah di tengah kamar satu menit sebelum tengah malam. Usahakan agar dua orang detektif dan dua wartawan ikut hadir di situ. Kalian berpegangan tangan membentuk lingkaran, lalu selama semenit harus membisu, Tepat saat tengah malam —“ Jupiter berhenti membaca. “Cuma sampai di situ pesan yang tersisa, Mr. Hugenay.” Hugenay mengumpat karena jengkel. “Kenapa harus berakhir tepat pada bagian itu! Tepat saat tengah malam — lalu apa? Apa yang akan terjadi saat itu? Kita tidak bisa menebaknya. Bert Clock itu pintar sekali. Kita tidak bisa menebak maksudnya.” Hugenay menghembuskan napas panjang. “Apa boleh buat kalau begitu,” katanya. “kita terpaksa membongkar seluruh kamar ini. Lukisan-lukisan itu mungkin disembunyikan dalam kamar ini, atau mungkin pula di sini ada kunci pembuka suatu tempat penyimpanan tertentu. Sebetulnya ada baiknya jika kita tahu apa yang harus dicari. Tapi karena kenyataannya tidak begitu. Kita harus berusaha sebisa-bisanya saja.” “Tunggu dulu!” kata Jupiter dengan tiba-tiba. “Jangan-jangan yang dicari lukisan-lukisan yang tergantung itu! Maksudku, kan bisa saja lukisan ditutupi dengan lukisan baru?” “Tidak, kurasa bukan itu jawabannya — tapi baiklah kuperiksa sebentar.” Hugenay menurunkan lukisan yang paling dekat padanya lalu meneliti barang itu dengan cermat. Diambilnya pisau lipat dari kantungnya lalu dikoreknya cat sedikit dan sudut lukisan. "Tidak! ini lukisan murah,” katanya. “Sekarang kita mulai saja mencari dengan jalan memeriksa buku-buku yang ada di sini — mungkin saja di dalam salah satu di antaranya terselip anak kunci. Kalau itu tidak membawa hasil, kita akan memeriksa dinding dan rak-rak, untuk mencari laci rahasia atau panel yang bisa digeser.” “Tunggu — aku punya gagasan baru!” seru Jupiter. “Gagasan baru lagi? Wah — otakmu pasti mendengung karena bekerja keras,” kata Hugenay kagum. “Bagaimana gagasan itu?” “Kurasa aku tahu bagaimana caranya memperoleh sisa pesan yang diambil dari kata-kata dalam buku itu.” “Katakanlah!” “Jika orang mengutip kata-kata dan buku untuk dicatat, sering kali kata-kata yang dipilih di beri garis di bawahnya dengan pinsil,” kata Jupiter menguraikan gagasannya. “Jadi jika ternyata kata-kata yang sudah kita ketahui dalam buku itu ada garis-garis di bawahnya, maka sisa pesan bisa kita ketahui dengan jalan memeriksa seluruh isi buku untuk mencari kata-kata yang juga digarisi.” “Pemikiran hebat,” kata Hugenay. “Sekarang kita periksa apakah dugaanmu itu tepat” Sekali lagi ditelitinya buku karangan Bert Clock. “Kau benar, Anak muda!” ujar Hugenay bersemangat. “Setiap kata dari pesan itu ada garis dengan pinsil di bawahnya. Nih — kaucari sisa pesan itu.” Jupiter menerima buku yang disodorkan. Ditelitinya halaman demi halaman, mencari kata-kata yang ada garis di bawahnya. Ia bekerja dengan teliti sekali, karena garis yang nampak sangat tipis. Ia membacakan tiap kata yang ditemukan, sementara Hugenay yang sekarang mencatatnya. Lama juga pekerjaan itu. Tapi Jupiter tidak berhenti sekejap pun, karena ia sangat tertarik. Akhirnya ia tidak menemukan garis-garis lagi. “Baiklah — sekarang kubacakan seluruh pesan itu,” kata Hugenay. Ia mulai membaca, “Berdirilah di tengah kamar satu menit sebelum tengah malam. Usahakan agar dua orang detektif dan dua wartawan ikut hadir di situ. Kalian berpegangan tangan membentuk lingkaran, lalu selama semenit harus membisu. Tepat saat tengah malam weker penjerit yang kukirimkan padamu akan memperdengarkan suaranya. Kau setel dulu supaya berbunyi senyaring mungkin. Biarkan menjerit sampai tempat persembunyianku ketahuan” Hugenay menatap Jupiter. “Lalu apa makna semuanya ini?” tanya orang Prancis itu. Kening Jupiter berkerut. Baru sekali itu ia mendengar pesan yang begitu aneh. “Kalau menurutku,” katanya, “Seolah-olah jeritan jam itu akan menggerakkan suatu mekanisme yang akan membuka sebuah pintu rahasia — atau sesuatu seperti itu. Bukan mustahil ada kunci yang hanya bisa dibuka dengan getaran bunyi khusus. Ada pula yang hanya mau membuka kalau pemiiknya menyebutkan kata-kata sandi tertentu. Kurasa jeritan Mr. Clock juga begitu fungsinya.” “Tepat,” kata Hugenay sependapat. “Kesimpulanku juga begitu. Kunci khusus yang hanya bisa dibuka dengan bunyi tertentu.” “Sekarang,” kata Jupiter, “jika Anda membawa weker itu, kita bisa langsung mencoba. Kurasa keterangan mengenai berpegangan tangan dan menunggu sampai tengah malam tadi sama sekali tidak ada artinya. Gunanya untuk mengasyikkan saja. “Wah, sayang,” kata Hugenay lambat-lambat, “jam itu tidak ada lagi. Sudah kubongkar, karena hendak mencari kalau-kalau ada pesan rahasia terukir di dalamnya. Jam itu tidak bisa menjerit lagi.” Ia mendesah. “Aku saat itu sama sekali tidak menduga adanya perkembangan yang begini. Ini salah satu saat yang jarang terjacli, di mana aku melakukan kekeliruan besar. Tapi apa boleh buat. Barang yang sudah rusak takkan bisa dibuat utuh kembali.” “Kalau begitu aku juga tidak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang.” “Masih ada jalan lain,” kata Hugenay. “Tapi caranya kasar, sedang aku paling tidak suka pada kekasaran. Yah, sekali ini tidak bisa dielakkan, karena memang perlu. Orang-orangku akan kusuruh membongkar dinding kamar ini termasuk yang di belakang rak-rak buku. Jika di sini ada lemari rahasia atau tempat penyembunyian lainnya, kita pasti akan berhasil menemukannya. "Fred" katanya pada salah satu anak buahnya. "Pergilah ke mobil, lalu ambil peralatan yang ada di situ. Ada yang kita kerjakan di sini!" Bab 20 Perkembangan Tak Terduga Kamar perpustakaan Bert Clock berantakan. Kelihatannya seperti ada bom meledak di situ. Atau ada regu pembongkar yang hendak merobohkan rumah itu. Kesan kedua lebih sesuai dengan kenyataan. Anak buah Hugenay memang habis mengobrak-abrik kamar itu. Mereka beraksi dengan pahat, bor, kapak, dan linggis. Mula-mula mereka menurunkan buku-buku rak dan menumpukkan semuanya di lantai. Lukisan-lukisan serta cermin diturunkan pula. Setelah itu mereka mulai membongkar dinding dengan cara diperhitungkan. Setiap jengkal diperiksa, kalau-kalau ada rongga di belakang lapisan dinding, Beberapa rak juga dicopot untuk mencari pintu atau lemari tersembunyi. Mereka juga mencoba mendobrak langit-langit. Ternyata itu lapisan semen semata-mata. Segala usaha yang dilakukan sia-sia. Sama sekali tak dijumpai sesuatu yang bisa dianggap tempat penyembunyian rahasia. Hugenay nampak marah, di samping kecewa. "Yah—ternyata kita gagal,” katanya.”Bert Clock menyembunyikan benda tak dikenal itu dengan begitu baik, sampai aku pun tak berhasil menemukan. Tak kusangka ini bisa terjadi padaku.” “Apakah itu berarti Anda tidak bisa membuktikan bahwa ayah Harry sebenarnya tidak bersalah?" tanya Jupiter. “Betul, apabila lukisan-lukisan curian itu tidak ditemukan,” jawab Hugenay. “Dan seperti kau lihat sendiri, kita tidak berhasil! Kita gagal— kecuali jika kau mendapat akal baru lagi.” Jupiter mencubit-cubit bibimya. Ada gagasan baru terbayang. “Mr. Hugenay — weker itu memang sudah musnah, tapi teriakan Bert Clock kan tidak,” “Apa maksudmu dengan kata-kata itu?” tanya Hugenay. “Ada orang bernama Gerald Watson yang memilki koleksi rekaman semua acara Bert Clock yang termasuk serial ‘Jeritan di Tengah Malam’. Masing-masing acara diawali dengan jeritan. Mungkin jeritan dan weker itu berasal dan salah satu acara tersebut. Jika benar begitu dan kita bisa meminjam rekamannya beserta alat pemutar dan Mr. Watson. Kita sama sekali tidak perlu weker!” “Cepat — kautelepon orang itu. Jangan buang-buang waktu lagi!” Jupiter bengegas menelepon Mr. Watson. Orang itu pada mulanya hanya bisa heran mendengar pertanyaan yang baginya begitu aneh. Tapi ia dengan segera mengenali jeritan mana yang dimaksudkan oleh Jupiter. "Ya, aku tahu jeritan mana yang kaumaksudkan itu,” katanya. “Wah — jeritan itu dari sebuah film tua, yang dibuat sekitar dua puluh tahun yang lewat. Itu yang membuat nama Bert kemudian menanjak. Ya — tentu saja aku memiliki rekamannya. Dengan senang hati kupinjamkan beserta alat pemutarnya, asal kemudian kau ceritakan misteri apa yang sebetulnya bersangkutan dengannya.” Jupiter berjanji. Dikatakannya bahwa sebentar lagi akan ada orang datang mengambil. Selesai menelepon, ia kembali ke kamar perpustakaan. Temyata mereka yang tadi menunggu di dapur datang untuk melihat perkembangan. Mereka kaget ketika melihat keadaan kamar itu. “Aduh, Jupe — habis kau obrak-abrik kamar itu” kata Bob. “Lalu ada yang kalian temukan?" “Belum ada,” kata Jupiter mengaku. “Wah — kelihatannya kalian seperti hendak meruntuhkan rumah ini!” seru Mrs. Smith. Takkan kuberi ijin tadi jika aku tahu bahwa kalian akan berbuat sampai begini!” “Kami mencari-cari bukti yang akan menunjukkan bahwa suami Anda tidak bersalah,” kata Hugenay padanya. “Apakah Anda menyuruh kami berhenti sebelum bukti itu ketemu?” “Tidak, tidak, bukan begitu maksud saya,” kata Mrs. Smith gugup “Jika Anda bisa membuktikan ia tak bersalah, kurasa kerusakan yang bagaimanapun bukan apa-apa bagiku.” “Kami akan mencoba tidak menimbulkan kerusakan yang lebih parah,” kata Hugenay dengan gayanya yang sopan. Mrs. Smith kelihatannya puas mendengar janji itu. Seluruh dinding sudah dibobok dalam usaha mencari tadi. Kini tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu. Bawahan Hugenay yang barnama Joe sudah berangkat dengan mobil untuk mengambil pita rekaman beserta alat pemutarnya dari rumab Mr. Watson. Sejam kemudian ia kembali dengan menjinjing alat perekam Itu. “Ini dia,” katanya. “Pak Tua tadi sudah memasangkan pita itu, sehingga kita tinggal memutarnya saja” “Bagus” kata Hugenay. Sambil berpaling ditanyakannya pada Jupiter, “Kau bisa menjalankan alat ini?” “Bisa,” jawab Jupiter, lalu menghubungkan alat itu ke sambungan listrik. “Sekarang kita kembalikan keadaan dalam kamar ini seperti semula,” katanya. “Tentu saja tidak bisa pulih sama sekali —tapi kita gantungkan saja lukisan-lukisan serta cermin itu ke tempat lama dan buku-buku kita kembalikan ke rak.” Hugenay mulanya hendak membantah. Tapi tidak jadi, setelah berpikir sebentar. “Lakukan apa yang dikatakan itu,” katanya pada anak buahnya yang langsung mulai bekerja. Setelah semua kembali berada di tempat lama, kedua orang itu mundur dan mengambil sikap menunggu. “Mulai sajalah sekarang!” kata Hugenay dengan tidak sabar. “Menurutku kita hanya membuang-buang waktu — tapi tidak ada salahnya mencoba.” “Baik,’ kata Jupiter yang selama itu sudah mulai mendengarkan rekaman yang disetel pelan olehnya. Ia sudah menemukan posisi pita yang ada jeritannya. Pita itu diputar kembali sampai ke posisi itu. “Sekarang sudah siap,” katanya. “Semua harap tenang.” Pita dijalankan, sementara bunyi yang keluar dinyaringkan. Mula-mula terdengar percakapan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Tahu-tahu ada jeritan melengking tinggi, seperti suara seseorang yang panik. Jeritan itu mengisi seluruh ruangan, lalu terdiam. Semua yang ada di situ menunggu pintu rahasia yang tahu-tahu terbuka dengan sendiri — atau panel yang terdorong maju dari dinding. Tapi tidak ada kejadian apa-apa. “Tepat seperti sudah kuduga tadi!” seru Hugenay. “Sungguh — dalam ruangan ini tidak ada tempat di mana lima lukisan mahal mungkin bisa disembunyikan. Tidak ada!" “Kurasa ada,” kata Jupiter dengan semangat yang timbul dengan tiba-tiba. Ia melihat sesuatu yang tak terlihat oleh yang lain-lainnya. Seketika itu juga ia merasa tahu di mana lukisan-lukisan itu disembunyikan. Sekarang tinggal menguji kebenaran dugaannya itu. “Kita coba saja sekali Jagi,” katanya. “Mungkin tadi kurang nyaring.” Tombol pengatur volume suara disetel sampai maksimum. Pita rekaman diputar balik, sampai ke posisi di mana jeritan terdengar. Sekali itu jeritan demikian melengking, sampai yang ada di situ terpaksa menutup telinga. Jeritan semakin melengking. Saat itu terjadilah hal yang ditunggu-tunggu, meski semula wujudnya tak tersangka-sangka. Kaca cermin besar pecah berantakan, jatuh berhamburan ke lantai. Dalam sekejap mata saja tidak ada lagi dari cermin kecuali bingkainya serta beberapa pecahan kaca yang masih terselip. Pada tempat kaca yang pecah itu kini nampak lukisan berwarna nyala, Sementara yang ada dalam ruangan itu menatap nanar, lukisan itu tergulung dengan pelan lalu jatuh ke lantai, disusul empat lukisan lagi yang semula terjepit antara kaca dan dinding belakang cermin. Akhirnya diketahui kegunaan weker yang menjerit. Tanpa mempedulikan pecahan kaca yang berserakan, dengan cepat Hugenay maju dan menyambar lukisan yang pertama, suatu lukisan bergaya abstrak yang menampakkan wama-wama campur aduk dengan latar belakang hitam. “Ini dia lukisan-lukisan itu?” serunya dengan nada menang. “Benda-benda berharga dengan nilai setengah juta dollar akhirnya jatuh juga ke tanganku!” Saat itu pintu perpustakaan di belakang mereka terbuka. Seseorang yang saat itu masuk berseru dengan suara tajam, “Angkat tangan! Kalian semua ditangkap!” Sesaat tidak terdengar suara sedikit pun, sementara orang-orang yang ada dalam ruangan itu berpaling dan menatap kelompok yang berdiri di ambang pintu. Nampak dua orang polisi dengan pistol teracung. Di belakang mereka Jupiter melihat kepala polisi kota Rocky Beach, Chief Reynolds, serta Mr. Crenshaw, ayah Pete, Sesaat kemudian Pete menerobos masuk “Jupe?” serunya gugup. “Kau tidak apa-apa? Wah, kami tadi sudah gelisah saja memikirkan kalian! Aku tidak bisa tidur, karena ada sesuatu yang perlu kuberitahukan padamu. Karenanya aku kemudian menelepon ke rumahmu. Kata pamanmu kau ke rumah Bob. Sedang ketika kutelepon ke rumahnya, ibunya mengatakan bahwa ia menyangka Bob ada di rumahmu. Aku menelepon ke markas kita. Tapi di situ pun kalian tidak ada, Aku lantas bersepeda ke sana untuk melihat apakah kalian meninggalkan pesan. Di situ aku menemukan suratmu yang menyebut kamar jam. Aku menelepon kemari, tapi tidak ada yang mengangkat telepon. Aku mulai cemas. Kuberi tahu pada ayahku bahwa kau dan Bob menghilang. Lalu ia menelepon Chief Reynolds. Beramai-ramai kami kemari untuk memeriksa. Ternyata kami datang pada saat yang tepat.’ Chief Reynolds melangkah maju lalu mengambil lukisan yang dipegang Hugenay dan meletakkannya dengan hati-hati ke atas meja. “Lukisan ini dicuri dari suatu sanggar pameran sekitar dua tahun yang lalu,” kata kepala polisi itu. “Aku ingat, karena waktu itu foto-fotonya disebarluaskan di kalangan kepolisian.” Chief Reynolds berpaling pada Jupiter. "Sudah kusangka ini bukan urusan sepele,” katanya. “Teringat olehku tentang Bob yang kemarin mengatakan dikejar orang, lalu ada sesuatu yang dicuri dan mobil yang ditumpanginya. Aku lantas menarik kesimpulan, kalian pasti terlibat dalam suatu urusan besar. Kelihatannya kami datang tepat pada waktunya di sini untuk menangkap para pencuri dengan barang-barang curian mereka.” Jupiter menoleh, memandang Hugenay. Orang Prancis itu kelibatannya tenang-tenang saja, walau saat itu ia terjebak setelah bertahun-tahun lamanya selalu berhasil menghindarkan diri dari penangkapan. Ia bahkan tersenyum simpul. Ia merogoh kantung, mengambil sebatang cerutu yang langsung dinyalakan. “Tolong katakan,” katanya, “kejahatan apa yang dituduhkan terhadap diriku?” “Pertama-tama, ketahuan memegang barang-barang curian,” tukas Chief Reynolds. “Kecuali itu bisa pula penculikan, merusak dengan sengaja — pokoknya banyak yang bisa didakwakan.” “0, ya?” Hugenay menghembuskan asap cerutunya. “Harap jangan sembarang menuduh. Aku kemari untuk ikut membantu pencarian sejumlah benda-benda seni yang hilang dicuri orang dan disembunyikan Albert Clock. Pemuda ini —“ Sambil berkata begitu dianggukkannya kepala ke arah Jupiter. “— pemuda ini akan mengatakan pada Anda bahwa ia bersama kawan-kawannya secara sukarela membantu dalam usaha itu. Kerusakan yang terjadi di sini dilakukan seizin nyonya ini, yang diserahi wewenang atas rumah ini. Pengrusakan itu perlu guna menemukan lukisan lukisan yang hilang. Kami telah berhasil menemukan lukisan-lukisan ini. Sekarang kami akan menyerahkannya pada Tuan-tuan, dan setelah itu kami minta diri.” “Tunggu dulu —“ kata Chief Reynolds. Tapi Hugenay memotongnya. “Katakan padanya bahwa yang kukatakan tadi sepenuhnya benar, Anak muda,’ kata orang Prancis itu pada Jupiter. Jupiter terkejap. Ucapan Hugenay tadi memang semuanya benar, “Betul. Chief Reynolds,” katanya dengan segan-segan. “Memang benar bahwa kami ada di sini atas kemauan sendiri, begitu pula bahwa Mr. Hugenay ini mencari lukisan-lukisan yang disembunyikan. ltu sepenuhnya benar.” “Tapi kami tahu siapa dia. Lukisan yang ditemukan pasti hendak dimiliki olehnya sendiri,” seru Chief Reynolds. "Itu pendapat Anda.” kata Hugenay. ‘Tapi Anda tidak punya bukti sama sekali. Jadi kami minta diri saja sekarang, dengan seizin Anda tentunya. Aku tahu pasti Anda tidak berniat menahan kami, karena jika itu Anda lakukan, aku nanti akan menuntut ganti rugi sejuta dollar karena ditangkap dengan tuduhan palsu. Perkara itu pasti akan kumenangkan di pengadilan!” Ia memberi isyarat pada orang-orangnya yang masih mengangkat tangan mereka dengan gugup. “Kita pergi,” katanya. “Kita tidak diperlukan lagi di sini. Kita ucapkan selamat tinggal pada semua yang hadir.” “Nanti dulu!” Kini salah seorang polisi yang asli membuka mulut. “Kalian tidak bisa segampang itu pergi dan sini. Kami bisa saja menahan kalian dengan dakwaan menyamar sebagai petugas kepolisian!” “0, ya?” Hugenay menguap dengan sikap sopan, seolah-olah memamerkan bahwa ia sama sekali tidak terkesan. “Fred! Coba kau maju sebentar. Sekarang saya persilakan Anda sekalian mengamat-amati lencana yang dipakai orang ini. Perhatikan huruf-huruf yang tertulis di situ,” “N-Y-P-D’ kata Chief Reynolds. Ia tidak mengerti. “Tepat! Itu singkatan New York Police Department — Departemen Kepolisian kota New York. Kedua orang ini aktor yang kusewa untuk membantuku dalam pencarian ini. Mereka memakai pakaian seragam polisi kota New York, yang letaknya hampir tiga ribu mil dari sini. Ini hanya leluconku saja, yang sama sekali tidak merugikan siapa-siapa. Anda tidak bisa mengatakan mereka mengaku-ngaku polisi Los Angeles, karena mereka memakai seragam polisi New York!’ Jupiter terkejut. Setelah diamati secara teliti, temyata ucapan Hugenay memang benar. Padahal seperti yang lain-lainnya pula, ia tadi beranggapan bahwa kedua orang itu pasti polisi Los Angeles. Dan karena Amerika Serikat merupakan negara federal di mana masing-masing negara bagian memiliki kedaulatan sendiri-sendiri di bidang penegakan hukum, maka polisi negara bagian yang satu sama sekali tidak memiliki wewenang hukum di negara bagian lain. Dan karenanya di pihak lain, orang yang memakai pakaian seragam kepolisian yang tidak memiliki kesahan hukum di suatu tempat memang tidak bisa diapa-apakan. “Mari kita pergi,” kata Hugenay sambil melangkah ke pintu dengan tenang. Chief Reynolds hanya bisa menggaruk-garuk kepala saja. “Tak ada alasan yang bisa kutemukan untuk menahan mereka!” katanya jengkel. “Kurasa kita terpaksa membiarkan mereka pergi!” Jupiter menggeleng-geleng dengan perasaan kagum. Hugenay memang tidak berhasil memperoleh lukisan-lukisan yang dicarinya selama ini. Tapi sekali lagi ia berhasil menghindar dan penangkapan. Di ambang pintu Hugenay berhenti, lalu menoleh ke arah Jupiter. “Aku senang sekali bekerja sama denganmu, Anak muda,” katanya. “Hanya sayang, kita tidak bisa bahu-membahu secara profesional. Coba kau mau, di bawah bimbinganku kau akan mempunyai masa depan gemilang. Tapi aku yakin, kapan-kapan kita akan berjumpa lagi.” Sesaat kemudian terdengar pintu depan dibuka lalu ditutup kembali. Hugenay menghilang, bersama anak buahnya. Chief Reynolds masih saja sibuk rnenggaruk-garuk kepala. “Yah.” katanya, “kurasa sekarang sudah sampai waktunya untuk memperoleh penjelasan. Mengenai apa sebetulnya urusan ini, Jupiter?” Jupiter menarik napas dalam. “Begini, Chief. Awalnya dimulai dengan sebuah jam yang menjerit. Saat itu —“ Jupiter bercerita panjang-lebar. Catatan Alfred Hitchock Memang tidak perlu dipaparkan cerita Jupiter Jones pada Chief Reynolds serta semua yang hadir dalam ruangan yang penuh dengan jam itu. Tapi mungkin ada yang ingin tahu mengenai beberapa soal yang diketahul kemudian, sebelum kasus ini secara resmi dinyatakan ditutup. Lukisan-lukisan yang hilang dicuri dan yang menyebabkan ayah Harry ditangkap temyata ditaruh di bawah alas lantai oleh Albert Clock, yang takut polisi akan mencurigai dirinya apabila ia tidak bisa mengarahkan kecurigaan pada orang lain. Lalu begitu keadaan dirasakan sudah aman. Ia minggat ke luar negeri dan bersembunyi di Amerika Selatan. Tindakan itu dilakukan untuk menjauhkan diri dari pengamatan polisi, tapi di pihak lain juga karena hendak lari dari Carlos, Jerry, dan Mr. Jeeters yang merupakan anggota komplotan yang mencuri lukisan-lukisan itu serta yang saat itu mendesak Albert Clock agar aktif kembali. Ia kemudian meninggal karena sakit di Amerika Selatan. Demikian dikabarkan oleh Hugenay. Karenanya ia tidak bisa lagi diajukan ke pengadilan. Sedang Carlos, Jerry, dan Mr. Jeeters dijemput dari garasi di mana mereka ditinggalkan dalam keadaan terborgol. Mereka mengakui kesertaan mereka dalam komplotan pencuri, serta membebaskan diri ayah Harry dan segala tuduhan yang ditimpakan padanya. Mr. Smith dibebaskan dan penjara, dan ia bergabung kembali dengan keluarganya. Teknik yang diterapkan Bert Clock dalam film lama yang masih diingat ayah Pete serta Mr. Watson adalah memecahkan cermin dengan cara menjerit dengan suara melengking tinggi di depan cermin itu. Getaran yang ditimbulkan gelombang bunyi tertentu memang dapat memecahkan kaca. Dan teknik itu dalam film menimbulkan kesan yang luar biasa dramatik Kemudian Bert Clock membeli cermin yang serupa, lalu menggantungkannya dalam kamar perpustakaannya. Ia mempergunakan itu sebagai tempat penyembunyian lukisan-lukisan hasil curian yang kemudian baru dijual apabila keadaan sudah aman. Lima di antaranya yang belum bisa dijual ditinggalkannya di situ, karena tidak ada tempat lain yang lebih aman lagi. Alasan kenapa ia memasang cermin itu di sana hanya bisa diduga-duga saja. Menurut perkiraanku, ia menyukai kenyataan bahwa ia bisa memecahkan kaca itu kapan saja ia mau dengan teriakannya. Bahkan mungkin saja ia berniat akan melakukannya suatu hal untuk membuat kenalan-kenalannya tercengang keheranan. Tentang teknik itulah Mr. Crenshaw bercerita pada Pete, dan yang oleh Pete dianggap perlu segera diberitahukan pada Jupiter. Seperti dikatakan oleh Pete, malam itu ia tidak bisa tidur lalu menelepon ke rumah Jupiter. Ia langsung memberi tahu ayahnya ketika mendengar bahwa baik Bob maupun Jupiter menghilang, tanpa diketahui ke mana. Jupiter agak jengkel terhadap dirinya sendiri, karena tidak menduga bahwa cermin besar itu bisa dipakai sebagai tempat penyembunyian beberapa lukisan berukuran kecil. Tapi Bob dan Pete mengatakan bahwa ia telah berhasil dengan gemilang dalam tahap-tahap penyelidikan yang selebihnya, sehingga bisa saja dimaafkan kalau ia tidak menyadari hal yang paling menentukan. Ketika Jupiter untuk pertama kalinya memperdengarkan rekaman jeritan, ia melihat kaca cermin besar bergetar sedikit. Ia langsung menyadari apa yang seharusnya terjadi saat itu. Dengan jalan menyaringkan suara sampai sekeras-kerasnya, ia kemudian berhasil memecahkan kaca dengan cara yang cukup dramatik untuk memuaskan seleranya. Kini masih ada satu pertanyaan lagi yang perlu dijawab. Apa sebabnya Bert Clock mengirimkan pesan-pesan anehnya pada tiga orang teman serta weker yang menjerit pada Rex King — dan bukan pada polisi? Mr. King sendiri yang memberikan penjelasan mengenainya, yang menurutku merupakan jawaban yang sebenarnya. Di sini aku mengutip kata-kata Rex King. “Bert Clock tahu bahwa aku sedang dirundung kesialan, dan bahwa sejak lama aku menganggur. Di Hollywood sini publisitas besar sekali artinya. Aku memerlukan sesuatu yang bisa membuat namaku disebut-sebut lagi dalam surat kabar, supaya produser film dan televisi yang membacanya akan teringat lagi pada diriku. Ia lantas mengatur siasat dalam mana aku direncanakannya akan menemukan lukisan-lukisan yang hilang dengan cara yang sangat dramatik. Menurut perhitungannya kejadian itu pasti akan menjadi berita besar dalam berbagai surat kabar. Dan andaikan aku tidak terkapar di rumah sakit ketika weker itu datang, dengan mudah aku bisa menghubungi kawan-kawan yang dititipi pesan-pesan serta menguraikan teka-tekinya, lalu mengajak sejumlah wartawan dan detektif untuk menjadi saksi saat aku menemukan lukisan-lukisan itu. Kejadian itu pasti akan merupakan berita yang menggemparkan, dan aku akan memperoleh publisitas besar-besaran. Bert memang sahabat yang baik — walau ia itu pencuri — dan tindakannya yang terakhir sebelum mati adalah berusaha menolongku. Karenanya aku tidak bisa menganggapnya jahat. Aku hanya menyesal bahwa semuanya tidak berjalan seperti yang direncanakan olehnya, sebab publisitas itu berguna sekali bagiku.” Kalian pasti senang mendengar bahwa berita-berita dalam surat kabar mengenai kejadian ini ternyata juga menyebut nama Mr. King. yang karenanya kemudian memperoleh sejumlah tugas baru. Sedang tentang Trio Detektif, kasus ini telah mereka nyatakan selesai. Dan kini mereka sedang mencari-cari kasus baru. Entah apa lagi yang akan mereka hadapi sekarang. Alfred Hitchcock Scan and Created Ebook by Syauqy_arr@yahoo.co.id (Koleksi “TRIO DETEKTIF”) Web, http//hanaoki.wordpress.com Convert Ebook to other format and edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu